Begitu yang disampaikan Praktisi Hubungan Internasional sekaligus Pendiri Think-tank Synergy Policies, Dinna Prapto Raharja, kepada
Kantor Berita Politik RMOL pada Jumat (16/6).
Menurut paparan Dinna, pengakuan Belanda yang disampaikan Perdana Menteri Mark Rutte hanya statement populis semata.
Pasalnya, kata Dinna, Juru Bicara Perdana Menteri Belanda mengatakan bahwa pengakuan tersebut tidak memiliki konsekuensi hukum, karena PBB akan tetap mengacu pada kemerdekaan RI tahun 1949.
"Hal-hal yang telah tercantum terkait Indonesia dalam dokumen-dokumen resmi kenegaraan tetap belum akan berubah," ungkapnya.
Dinna mengatakan belum lama ini PM Rutte meminta maaf atas aktivitas perbudakan masa lalu yang dilakukan Belanda di seluruh dunia.
Dikatakan Dinna, Belanda telah mengakui korban kolonisasi Asia di wilayah kekuasaan Dutch East India Company mencapai 660,000 dan lebih dari 1 juta orang telah diperdagangkan. Tetapi nama Indonesia tidak ada dalam daftar permintaan maaf.
"Indonesia tidak disebut, hanya Suriname, Aruba, Curacao, St. Maarten, Bonaire, St Eustatius dan Saba," ungkapnya.
Dinna menilai PM Rutte nampak terdesak oleh konstituen politiknya di dalam negeri karena sebelum kejadian ini, banyak permintaan maaf atas perbudakan Belanda yang dilakukan sejumlah gubernur, walikota bahkan Bank Sentral Belanda.
"Rupanya gelombang kesadaran generasi masa kini akan buruknya perbudakan menjadi salah satu penggeraknya," kata Dinna.
Melihat perkembangan tersebut, Dinna berpendapat bahwa pengakuan terbaru dari Belanda belum benar-benar berdampak bagi Indonesia.
"Kita masih harus bersuara lebih keras menuntut hak kita berdasarkan pengakuan-pengakuan tersebut," pungkasnya.
Belanda sebelumnya hanya mengakui kemerdekaan RI berdasarkan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember tahun 1949. Pada Rabu (14/6), PM Belanda mengumumkan pengakuan mereka atas kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945.
Dengan pengakuan yang diperbarui, beberapa pengamat menilai Indonesia berkesempatan untuk menuntut Belanda atas kejahatan perang yang dilakukan antara tahun 1945 dan 1949.
Itu mencakup Agresi Militer I, Agresi Militer II dan keterlibatan Belanda dalam rombongan tentara Sekutu dalam rangka melucuti tentara Jepang.
BERITA TERKAIT: