Wakil Menteri Pertahanan Yasuhide Nakayama menggarisbawahi kebijakan "Satu China" yang diakui oleh banyak negara, termasuk Jepang. Ia mempertanyakan apakah kebijakan untuk mengakui Beijing daripada Taipei tersebut akan bertahan.
"Apakah itu benar? Saya tidak tahu," ujarnya ketika hadir dalam acara lembaga think tank, Hudson Institute, pada Senin (28/6).
Walau begitu, Nakayama mengatakan negara-negara demokratis harus melindungi satu sama lain dan mencatat bahwa Taiwan adalah "garis merah".
"Jadi kita harus melindungi Taiwan sebagai negara demokratis," kata Nakayama.
Nakayama menilai, dengan letak geografis Jepang dan Taiwan yang dekat, maka situasi keamanan Taiwan akan memengaruhi Jepang, khususnya Prefektur Okinawa yang menjadi rumah bagi pasukan AS.
Nakayama menyoroti meningkatnya ancaman yang ditimbulkan oleh China di luar angkasa, teknologi rudal, domain siber, serta kekuatan nuklir dan konvensional. Ia mengatakan bahwa di bawah kepemimpinan Xi Jinping, China memiliki pemikiran dan kemauan agresif.
Ia juga menekankan kolaborasi yang dilakukan oleh China dan Rusia yang dapat mengancam, khususnya ketika mereka meningkatkan latihan militer di wilayah yang disengketakan dengan Jepang.
"Anda dapat melihat China dan Rusia berkolaborasi bersama, ketika mereka melakukan beberapa latihan militer di sekitar tetangga kita," kata Nakayama.
Lebih lanjut, Nakayama mendorong AS untuk bisa lebih kuat. Sementara pemerintah Jepang harus menghapus batas 1 persen dari PDB yang dikeluarkan untuk pertahanan. Ia menyebut Jepang perlu menghabiskan lebih banyak uang untuk bertahan.
"Washington dan Tokyo harus meningkatkan kolaborasi teknologi dalam menghadapi kerja sama China dan Rusia yang lebih erat," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: