Menurut Co-Creator World Happiness Report dan profesor di Colombia University, Jeff Sachs, penilaian tersebut merujuk pada kepuasan cara hidup orang-orang yang hidup di negara tersebut.
Namun, meski berada di negara paling bahagia sekali pun, rasisme masih terekspos di Jerman.
Seorang anggota parlemen Denmark yang juga jurubicara Aliansi Merah-Hijau, Pernille Skipper, mengatakan, rasisme di Denmark masih hidup dan menciptakan ketidaksetaraan di antara orang-orang asing.
"Ada sesuatu yangn bisa dikatakan di mimbar ini. Ya, ada rasisme di Denmark," ucap Skipper ketika parlemen membahas rasisme dan Islamophobia pada Senin (22/6), seperti dikutip
Anadolu Agency.
Skipper menjabarkan, orang non-kulit putih "lebih sial" dan lebih rentan terhadap ketimbangan dari orang kulit putih.
Selain itu, orang-orang yang memiliki nama berbau Arab lebih sulit mendapat pekerjaan. Di samping, biasanya orang-orang berkulit gelap juga lebih sering dihentikan dan digeledah oleh polisi.
Skipper menekankan, rasisme di Denmark telah mendapatkan dukungan selama hukum dan sanksi politik ditujukan pada imigran.
Menanggapi pernyataan tersebut, politisi sayap kanan, Pia Kjaersgaard tidak setuju.
"Ketika seseorang bernama Ayse menyelesaikan lamaran kerja, majikan mungkin bertanya, 'Apa yang terjadi jika mereka menjadi radikal ketika mereka bekerja?' Apakah ini rasisme? Saya kira tidak," katanya.
Membanting pernyataan Kjaersgaard, Skipper mengatakan mendefinisikan seseorang sebagai radikal karena nama mereka sama artinya melegalkan rasisme.
Isu rasisme sendiri semakin mencuat ketika warga kulit hitam Amerika Serikat (AS), George Floyd, meninggal dunia ditangan polisi berkulit pulih pada 25 Mei.
Kematian Floyd semakin membuka buruknya rasisme yang sudah mendarah-daging, bukan hanya di AS, namun juga berbagai penjuru dunia.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: