Tradisi Membaca Buku Orang Islandia, Terlalu Banyak Buku

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Jumat, 13 Desember 2019, 06:08 WIB
Tradisi Membaca Buku Orang Islandia, Terlalu Banyak Buku
Ilustrasi Tradisi Membaca Buku/Net
RMOL. Jika Anda pergi ke Selandia Baru di akhir tahun, maka Anda akan melihat pemandangan buku-buku yang bergeletakan di sudut rumah dan terutama di bawah pohon Natal.

Jolabokaflod, atau Pesta Buku Natal, sebuah tradisi yang akan Anda temui di akhir tahun dan telah berlangsung di Selandia baru sejak 1945.

Ratusan judul baru mulai dijual di toko buku dan supermarket dengan harga yang miring, ini adalah tradisi masa lampau yang juga menjadi vital bagi kelangsungan industri penerbitan di Selandia Baru di negeri berpenduduk sekitar 360 ribu orang.

Mereka saling bertukar buku dan sepanjang malam membacanya.

"Sastra sangat penting di Islandia, dan saya kira bentuk seni itu adalah sesuatu yang dapat dipahami oleh seluruh masyarakat,"  kata seorang seniman, Sigrun Hrolfsdottir, warga Seltjarnarnes, sebuah distrik kecil di daerah Reykjavik.

Asosiasi Penerbit Islandia mencatat, tujuh  dari 10 orang Islandia membeli setidaknya satu buku sebagai hadiah Natal.  Ada pepatah, jadi orang Selandia Baru berarti membaca.  

Terdapat 83 perpustakaan di Selandia Baru.  Lebih dari 90 persen penduduk Islandia membaca setidaknya satu buku dalam setahun, dan separuhnya membaca lebih dari delapan buku dalam setahun, menurut sebuah studi tahun 2013 dari Bifrost University.

Secara khusus, penduduk Islandia sangat gemar dengan kisah kriminal, seperti penduduk negara tetangga mereka; Swedia, Norwegia, dan Denmark.

Tradisi Jolabokaflod dimulai saat akhir Perang Dunia II, ketika Islandia yang mengalami keterpurukan ekonomi, memberlakukan pembatasan mata uang ketat yang mempengaruhi impor.

Walau mata uang ketat, harga kertas tetap terjangkau, sehingga buku menjadi hadiah Natal popular.
Islandia merdeka setelah tujuh abad dikuasai Norwegia dan Denmark.

"Sastra memberi pengaruh besar dalam perjuangan Islandia untuk merdeka dan mencari identitas," kata Halldor Gudmundsson, seorang penulis dan mantan pemimpin perusahaan penerbit terbesar di Islandia, Forlagid.

Badan Statistik Islandia menyebutkan Jolabokaflod menjadi momen penting bagi industri Islandia. Tradisi ini telah menyumbang 40 persen dari total penjualan buku sepanjang tahun 2018.

"Jika tradisi ini mati, maka penerbitan Islandia ikut mati," kata direktur Pall Valsson, di Bjartur, penerbit terbesar kedua di Islandia, di mana Jolabokaflod menyumbang 70 persen untuk total penjualan tahunan mereka.

Segala sesuatu tentu ada dampak lainnya.

Banjir buku itu juga ternyata membuat penulis kecewa. Terlalu banyak buku yang lahir, bahkan selalu terlalu banyak, maka sulit untuk diingat.

"Begitu banyak buku bagus sehingga  jadi kurang populer,"  ujar salah seorang penulis buku, Lilja Sigurdardottir. Karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Prancis.

Negara berpenduduk paling sedikit di Eropa ini, justru paling banyak menerbitkan buku. Sekitar satu dari sepuluh orang Islandia pasti pernah menerbitkan buku. Dan mereka pasar pembaca yang besar. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA