RUU Larangan Minol Jangan Sampai Ganggu Investasi
Harian Rakyat Merdeka | Senin, 26 September 2016, 09:26 WIB
Pengusaha minuman meÂwanti-wanti pemerintah dan DPR untuk berhati-hati daÂlam menyusun RUU Larangan Minuman Beralkohol karena dampaknya akan mengganggu iklim investasi di Indonesia. Pembatasan penjualan diminta disesuaikan dengan kondisi dan kebudayaan daerah.
Executive Committee Grup Industri Minuman Malt IndoÂnesia (GIMMI) Ronny Titiheru mengatakan, DPR seharusnya dalam membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) LaranÂgan Minuman Beralkohol (miÂnol) mempertimbangkan iklim investasi di Indonesia. Jangan sampai ketika undang-undang itu disahkan mengganggu iklim investasi dan merugikan semua pihak yang mendukung ataupun yang kontra.
"Harus ada pertimbangan yang jelas kalau tidak ada nantiÂnya investor mikir dua kali untuk investasi di Indonesia," tutur Ronny, kemarin.
Menurut dia, saat ini banyak investor yang membatalkan investasinya karena mengetahui parlemen sedang membahas RUU Larangan Minuman BeÂralkohol. Adanya aturan ini akan berpotensi membuat pabrik minuman beralkohol bangkrut. "Industri yang sudah 85 tahun ada berpotensi tutup bagaimana bisa ada investor baru datang lagi ke kita," jelasnya.
Ronny melihat, RUU Larangan Minuman Beralkohol perlahan-lahan dapat mematikan industri minol. Pasalnya, saat ini saja, pemerintah telah memÂbatasi produksi dan distribusi minol.
"Sekarang kami diberi kuota (produksi) oleh Kementerian Perindustrian, masing-masing pabrik ada batas maksimalnya sekian botol. Dari hulu sampai hilir sudah dikendalikan, sekaÂrang ditambah larangan," jelas Ronny.
Ketua bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana menilai, RUU Larangan Minuman BeÂralkohol rentan mempengaruhi investasi di Indonesia sekaÂlipun DPR merumuskannya dengan mempertimbangkan segala aspek.
"Investor itu hanya memÂpertimbangkan apakah lokasi itu mendekati sumber bahan baku, sumber daya manusia, dan pasar yang dibutuhkan. Tapi perlu diingat, mereka juga butuh kepastian hukum dan aturan yang jelas," ungkap Danang.
RUU Larangan Minuman Beralkohol, kata dia, hanya meÂnambah panjang deretan aturan di Indonesia yang tidak efektif. Terlebih bila aturan tersebut tidak didukung oleh penegakan hukum yang tegas.
"Negara ini terlalu banyak aturan. Karena bila dibandingÂkan dengan negara-negara lain di Asia, aturan mereka jauh lebih sedikit tapi penegakan hukum mereka tinggi, kita justru sebaÂliknya," katanya.
Ia juga sepakat dengan Ronny, terkait pengendalian konsumsi alkohol di masyarakat. NaÂmun, yang ditekankan adalah pengendalian penyalahgunaan minuman beralkohol seharusÂnya diatasi dengan pengawasan konsumsi, bukan membatasi produksi dan distribusi.
Untuk pembatasan produksi dan distribusi, Danang menilai negara akan rugi. Pasalnya, minuman berlakohol menyumÂbang penerimaan negara yang didapat dari cukai sebesar Rp 6 triliun sesuai target Rancangan Anggaran Pendapatan dan BeÂlanja Negara (RAPBN) 2017 dan jumlahnya diperkirakan mencapai Rp 9 triliun pada 2019 mendatang.
Anggota Panja RUU Larangan Minuman Beralkohol DPR, Achmad Mustaqim berharap, semua pihak tidak hanya melulu melihat dari sisi investasi saja. Karena peraturan dibuat dengan banyak aspek tidak hanya satu sisi saja. "Jadi makin banyak masukan akan semakin bagus jangan memandang dari sisi investasi saja," kata dia.
Dalam pembahasan RUU tersebut, DPR mengaku suÂdah mengundang stakeholder atau berbagai perwakilan dari industri dan lainnya untuk mencari masukkan. Dia sepakat jika RUU Larangan Minuman Beralkohol harus jelas supaya tidak berada dalam wilayah abu-abu.
"Setelah banyak masukkan maka kami akan rapat lalu kami rancang lagi bersama dengan peÂmerintah sebelum diterapkan," katanya. ***