Bank BUMN Legowo Tak Ikut Biayai Divestasi Saham Freeport

Antisipasi Risiko Tinggi Dari Kredit Valas

Senin, 23 Juli 2018, 08:09 WIB
Bank BUMN Legowo Tak Ikut Biayai Divestasi Saham Freeport
Foto/Net
rmol news logo Pemerintah hanya membuka peluang bagi bank asing dan swasta dalam divestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI) melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum. Artinya, bank lokal BUMN sama sekali tak dilibatkan.  

 Menurut Direktur Penelitian Center of Reform on Economics (CORE) Muhammad Faisal, langkah pemerintah tersebut menunjukkan sikap seolah tidak memahami konsep nasionalis se­cara utuh dan jelas. Padahal dari sisi kemampuan, bank BUMN Tanah Air mampu ikut andil dalam divestasi Freeport.

"Tujuannya divestasi dilakukan itu kan untuk mengambil saham Freeport agar bisa dimiliki oleh negara. Kalau bank asing yang diberi kesempatan, justru Kemen­terian (BUMN) melarang usaha dalam negeri untuk berkontribusi," ucapnya kepada Rakyat Merdeka.

Diakui Faisal, divestasi freeport membutuhkan dana yang sangat besar. Dan mungkin itu salah satu alasan mengapa pemerintah menggandeng bank asing.

"Tapi tetap saja semestinya bank nasional menjadi prioritas utama yang dilibatkan, sejalan dengan semangat nasionalisasi aset negara," imbuhnya.

Kalaupun setelah melibatkan seluruh bank nasional masih juga kurang, imbuhnya baru ke­mudian melibatkan bank asing.

Senada, Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyebut, sebagai bank milik pemerintah, seharusnya bank BUMN dapat diikutsertakan da­lam membiayai proses divestasi.

"Harus tetap dilibatkan meskipun porsinya kecil. Namun saya lebih prefer (pendanaan) menggunakan surat utang, se­hingga lebih transparan proses pendanaannya," kata Bhima kepada Rakyat Merdeka.

Ia menilai, proses pembiayaan menggunakan skema surat utang dapat mengantisipasi kejadian yang merugikan negara maupun per­bankan. Terlebih menurutnya kon­disi makro nasional maupun global masih dalam ketidakpastian.

"Dalam tiga tahun terakhir rasio kredit macet atau Non Performing Loan (NPL) sektor pertambangan juga cukup tinggi, jadi harus hati-hati bank salurkan kredit ke pertambangan. Kalau kon­disi ekonomi memburuk, uangnya dikembalikan dalam jangka pan­jang bisa menciptakan liquidity mismatch. Ini pun nggak bagus buat perbankan," jelas Bhima.

Hingga kini, Kementerian BUMN pun masih merahasiakan nama dari bank-bank swasta dan asing yang ikut dalam pem­biayaan proses divestasi 51 persen saham Freeport. Namun pihaknya memastikan, akan ada 11 bank yang akan mendanai proses divestasi tersebut.

Terkait hal ini, para bankir bank pelat merah pun kompak, tak akan ikut melakukan pembiayaan terkait proses divestasi itu. Namun sebelumnya beredar kabar tiga bank pelat merah akan ikut mem­biayainya. Ketiga bank tersebut adalah Mandiri, BRI, dan BNI.

Ketua Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Kartika Wirioatmodjo bilang, perbankan pelat merah sepertinya masih harus lebih mengalah kepada bank asing, untuk dapat mem­biayai kegiatan pengakuisisian perusahan tambang tersebut.

Ia mengaku, kondisi pereko­nomian global yang fluktuatif membuat perbankan nasional harus lebih hati-hati. Terutama volatilitas yang terjadi di pasar global membuat Loan to Deposit Ratio (LDR) sedikit menantang.

"Apalagi saat ini telah banyak nasabah yang menarik dana valuta asing (valas) miliknya. Se­hingga untuk danai dalam skala besar di dolar AS seperti divestasi ini lebih menantang. Itu kenapa, yang diberikan kesempatan itu yang bank asing dulu. Karena bagi bank lokal untuk dapat dana dengan ukuran sebesar itu dan tenor seperti itu, kami tidak mu­dah cari pendanaan," terangnya.

Tiko yang juga menjabat Direk­tur Utama PT Bank Mandiri (Per­sero) Tbk (Mandiri) mengaku, dirinya cukup legowo untuk menyerahkan porsi pembiayaan tersebut ke bank asing. Keputusan tersebut sesuai yang telah dia­manatkan Kementerian BUMN.

Pendapat yang sama dikatakan Ketua Umum Himpunan Bank-Bank Milik Negara (Himbara) Maryono.

"Ini nanti akan dikonsentrasikan dibiayai oleh bank-bank asing, dan bank swasta saja. Deputi (Kemen­terian) BUMN yang memberikan arahan," kata Maryono.

Sementara, Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Achmad Baiquni menuturkan, BNI awalnya akan ikut masuk dalam penyediaan modal tersebut. Namun banyaknya saingan, terutama bank asing, membuat pihaknya mengurungkan niat tersebut.

"Awalnya kan kita ingin masuk tapi ya tentunya kita lihat terms note-nya seperti apa. Soalnya, bank-bank yang minat biayai akuisisi Freeport cukup banyak juga kan, baik itu bank asing maupun bank lokal," kata Baiquni saat ditemui Rakyat Merdeka.

Menurutnya, bank asing cenderung menawarkan bunga yang menggiurkan, sehingga mereka tidak mungkin dapat menyainginya. "Ya cukup beratlah," cetus Baiquni.

Terutama kondisi rupiah tengah terdepresiasi terhadap dolar AS, sementara pinjaman yang diberikan dalam bentuk dolar AS. "Bank BUMN tidak diwajibkan ikut dalam proses tersebut. Kita diberi keluasaan," pungkasnya.

Seperti diketahui, Inalum harus mengeluarkan dana sebesar 3,85 miliar dolar AS (Rp 55,88 triliun) untuk membeli hak partisipasi Rio Tinto di PTFI dan 100 persen saham FCX di PT Indocopper lnvestama, yang memiliki 9,36 persen saham di PTFI. Penyelesa­ian jual beli tersebut ditargetkan selesai paling cepat 30 hari atau maksimal 60 hari ke depan.

Pembayaran saham Freeport itu akan dituangkan dalam perjanjian pembelian (purchase agreement) ke depan. Adapun nilai 3,85 miliar dolar AS dibagi untuk membeli hak kelola Rio Tinto dan saham Indocopper. Sebanyak 3,5 miliar dolar AS (Rp 50,80 triliun) dialokasikan untuk pembayaran hak partisipasi Rio Tinto dan 350 juta dolar AS (Rp 5,08 miliar) untuk Indocoppe. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA