Menurutnya pengelolaan wakaf berbeda dengan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LMKS).
"Badan Wakaf Mikro (BWM) ini bukan lembaga wakaf. Ini adalah LKMS. Itu ada badan hukumnya. Kalau Bank Wakaf belum ada. LKMS itu ada. Ini LKMS bermerek Bank Wakaf Mikro. Kalau kita misalnya, nanti bicara wakaf banyak sekali perbedaan dalam hal istilah dan sejumlah hal yang harus dipenuhi," ujar Hendri dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat (FMB) 9 bertajuk "Bank Wakaf Mikro untuk Masyarakat" di Jakarta seperti keterangan yang diterima redaksi (Rabu, 28/3).
Hendri menerangkan, dalam lembaga wakaf, lembaga itu harus dikelola oleh Nazhir. Terkait peran Nazhir sendiri telah diatur dalam UU No 41 tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 1.
"Nazhir itu bisa berupa perorangan, organisasi, badan hukum yang menerima harta wakaf lalu mengelolanya serta mengembangkannya. Jadi hartanya adalah harta wakaf," tambah Hendri.
Menurut Henri, konsep Bank Wakaf Mikro tersebut mirip dengan Bank Infaq Mikro karena sangat fleksibel dalam penggunaannya.
Selain itu, untuk mengembangkan perekonomian masyarakat, bisa saja memakai model lembaga wakaf di Turki. Mereka sudah berdiri kurang lebih 600 tahun lalu.
"Misalnya di Turki ada seseorang berwakaf 10 miliar untuk membangun sekolah, maka oleh Nazhir itu akan menerima uang 10 miliar tapi tidak semunya dibangun gedung sekolah. Yang dibangun gedung 5 miliar. Lalu 5 miliar sisanya untuk usaha seperti membuka toko dan lain-lain," jelasnya,
Dijelaskannya dari hasil usaha tersebut, nantinya digunakan untuk gaji guru, gaji pengelola, dan muridnya pun bisa digratiskan.
"Jadi kalau ktia galakkan lembaga wakaf ini ekonomi jadi murah, sekolah jadi murah bila perlu gratis, rumah sakit juga begitu. Lembaga wakaf paling hebat di dunia saat ini adalah Al-Azhar di Kairo," pungkasnya.
Untuk itu, kata Hendri, wakaf seharusnya dikelola oleh Nazhir yang diakui oleh hukum di Indonesia dan mendapatkan izin kelola wakaf dari BWI.
"Nazhir tersebut mengajukan diri sebagai pengelola harta wakaf. Lalu dari BWI memanggil mereka untuk memaparkan program-programnya. Kemudian diberi izin oleh BWI. Para Nazhir pun harus ada auditnya," tandasnya.
"Di Indonesia, wakaf lebih banyak dalam bentuk harta tak bergerak atau tunai dalam benti emas atau perak, seperti di era Islam. Untuk wakaf tunai masih kecil. Prosesnya juga harus melalui akad," tutupnya.
[mel]