Aturan BI Diyakini Bisa Stabilkan Rupiah

Bawa Uang Kertas Asing Tanpa Izin Kena Denda

Senin, 19 Maret 2018, 10:00 WIB
Aturan BI Diyakini Bisa Stabilkan Rupiah
Foto/Net
rmol news logo Bank Indonesia (BI) mener­bitkan penyempurnaan aturan soal pembawaan Uang Kertas Asing (UKA) ke dalam dan ke luar daerah pabean Indonesia, melalui Peraturan Bank Indo­nesia (PBI) No. 20/2/PBI/2018.

Perubahan utama dalam PBI tersebut mengenai sanksi atas pelanggaran PBI Pembawaan UKA, yang sebelumnya hanya berupa pencegahan atas kegiatan pembawaan UKA, kemudian menjadi sanksi kewajiban mem­bayar (denda).

Direktur Eksekutif Departe­men Komunikasi BI Agusman Zaenal mengatakan, melalui peraturan yang baru, denda akan dikenakan kepada setiap orang atau korporasi yang melakukan pembawaan UKA lintas pabean dengan nilai paling sedikit setara dengan Rp 1 miliar, kecuali badan berizin, yaitu bank dan penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing (KUP­VA) Bukan Bank yang telah memperoleh izin dan persetu­juan dari BI.

"Aturan yang baru diharapkan akan meningkatkan efektivitas penegakan hukum (law enforcement) terhadap pelanggaran ketentuan pembawaan UKA,"  ucap Agus­man dalam keterangan resminya kepada Rakyat Merdeka.

Dalam pelaksanaannya, sam­bung Agusman, pengawasan pembawaan UKA dan pengenaan sanksi denda di daerah pabean akan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Penetapan besaran denda dan mekanisme penyetoran pada kas negara diharmonisasikan dengan norma yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan lainnya, tentunya yang terkait pembawaan uang tunai, antara lain Peraturan Pemerintah (PP) No. 99 Tahun 2016 tentang Pembawaan Uang Tunai dan atau Instrumen Pem­bayaran Lain Ke Dalam atau Ke Luar Daerah Pabean Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut, im­buh Agusman, maka besarnya sanksi denda yang dikenakan kepada orang atau korporasi yang tidak memiliki izin dan persetu­juan adalah 10 persen dari seluruh jumlah UKA yang dibawa, den­gan jumlah denda paling banyak setara dengan Rp 300 juta.

"Sanksi berupa denda juga akan dikenakan kepada badan berizin yang melakukan pembawaan UKA dengan jumlah melebihi persetujuan UKA oleh Bank Indonesia, sebesar 10 persen dari kelebihan jumlah UKA yang dibawa dengan jumlah denda paling banyak setara dengan Rp 300 juta," katanya.

Menurut Agusman, penyem­purnaan ketentuan pembawaan UKA diharapkan dapat mem­perkuat monitoring aktivitas pembawaan UKA oleh Bank SentraI. Dengan monitoring yang baik, pengaturan tersebut diharapkan dapat mendukung efektivitas kebijakan moneter, khususnya dalam mengendali­kan nilai tukar.

Namun Bank Sentral me­negaskan, hal tersebut bukan merupakan kebijakan kontrol devisa. Warga Negara Indone­sia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA) yang memerlukan UKA di atas ambang batas izin Pembawaan UKA tetap dapat memenuhi kebutuhan valuta as­ing, secara nontunai.

"Pelaksanaan pengajuan per­mohonan izin sebagai badan berizin dan permohonan persetu­juan kuota pembawaan UKA kepada BI akan berlaku sejak 4 Juni 2018. Sementara pengenaan sanksi terhadap pelanggaran PBI akan efektif berlaku pada 3 Sep­tember 2018," imbuhnya.

Menyoal ini, pengamat per­bankan dari Universitas Gadjah Mada Paul Sutaryono mengo­mentari, sanksi tegas BI meru­pakan hal yang sudah lama ditunggu.

Pasalnya, baru tahun ini Bank Sentral menetapkan sanksi dan denda hingga Rp 300 juta. Tahun lalu, beleid tersebut menjelaskan BI hanya melakukan monitor tanpa memberikan denda.

"Tentu ini langkah maju. Aturan tersebut memang sejalan dengan upaya yang dilakukan BI untuk mencapai dan memelihara kestabilan rupiah, yang memang saat ini masih fluktuatif," ujarnya kepada Rakyat Merdeka.

Paul menuturkan, pembawaan sejumlah uang asing lintas negara memang harus diatur, sehingga ada kontrol bagi rupiah sendiri di dalam negeri. Terlebih, aktivitas pembawaan UKA juga cukup tinggi.  ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA