Senior Financial Specialist Sector World Bank Nazirwan menyebut, pertumbuhan kredit mikro dalam beberapa tahun terakhir memang melesat cukup tinggi. Kredit mikro ini pun mengarah pada kemungkinan pinjaman berlebih kepada nasabah.
"Namun harus diakui, penetrasi pinjaman mikro yang tinggi bisa memicu terjadinya gagal bayar oleh para nasabah dan berÂdampak pada krisis keuangan," kata Nazirwan di acara Workshop Keuangan di Semarang, Jawa Tengah, akhir pekan kemarin.
Untuk itu, Nazirwan mengingatkan, perlunya diterapkan Responsible Financing atau keuangan yang bertanggungjawab demi keberlanjutan usaha. ReÂsponsible Financing menjadi lanÂdasan yang tepat untuk mengemÂbalikan fokus industri keuangan mikro, termasuk pada Koperasi Simpan Pinjam (KSP) atau Unit Simpan Pinjam (USP).
"Melalui penerapan prinsip-prinsip keuangan yang bertangÂgung jawab kepada anggota demi keberlanjutan usahanya," tandas Nazirwan.
Direktur Riset dari
Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah pun mengamini Nazirwan. Selama ini pembiayaan kredit mikro memang memiliki kekhasan tersendiri. Usaha mikro yang memiliki potensi sangat beÂsar untuk dibiayai memang memiÂliki risiko yang cukup tinggi.
Untuk itu dibutuhkan program pembiayaan mikro yang bersinergi. Dengan begini, tujuan bisa tercapai dan dapat meminimaliÂsir risiko kredit. Apalagi pemerintah saat ini memiliki banyak program pembiayaan mikro seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR), dana bergulir, Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) serta Permodalan NaÂsional Madani (PNM). Namun hasilnya belum optimal.
"Yang kemudian terasa adalah, seolah-olah program-program tersebut tidak maksimal, karena mereka berjalan sendiri-sendiri. Harusnya satu program dengan program lain saling koordinasi dan bersinergi. KUR maupun proÂgram lainnya yang dananya puluÂhan triliun itu, bisa dimanfaatkan dengan maksimal kalau terkoorÂdinasi, tidak cerai-berai," ucap Piter kepada
Rakyat Merdeka. KUR sendiri, kata Piter, samÂpai sekarang pun penyalurannya masih banyak masalah. Harusnya KUR ditujukan kepada UMKM yang nonbankable. Tapi kenyataannya, KUR lebih sering diberikan kepada UMKM yang sudah bankable.
Namun diakui Piter, memang cukup sulit di Indonesia mensinergikan beberapa program pemerintah terkait pembiayaan mikro. Hal ini lantaran masih tingginya ego di tiap kementeÂrian maupun lembaga (K/L).
"Susah kalau mikirnya masih seperti itu. Mungkin saja yang saya lihat, kalau semua digabungkan, nanti kementerian lembaga nggak punya 'mainan' lagi. Ego masih tinggi, itulah kesulitannya," kritiknya.
Meski begitu katanya, ia sama sekali tak meragukan komitmen pemerintah dalam mengemÂbangkan UMKM di Indonesia. Hanya saja, kalau polanya masih sama, tentu lagi-lagi hasilnya tak akan maksimal.
"Pemerintah sebenarnya bisa belajar dari beberapa program yang sudah berjalan. Contohnya Program PNM Mekaar, suksesÂmemberikan pembiayaan bagi wanita prasejahtera. Tercatat, rasio kredit bermasalahnya pun di bawah 1 persen," tutup BeÂkas Direktur Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) ini. ***
BERITA TERKAIT: