Demikian disampaikan anggota Komisi XI DPR, Heri Gunawan dalamn keterangannya, Minggu (4/3).
PMK 146/2017 mengatur agar tarif cukai hasil tembakau ditetapkan dengan menggunakan jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan batang atau gram hasil tembakau.
Kepentingannya mencapai target penerimaan cukai tahun 2018. Tak heran Hasil Pengolahan Tembakau Lain (HPTL), di antaranya tembakau hirup, tembakau kunyah, tembakau molasses, masuk di dalamnya.
Anggota Komisi XI DPR, Heri Gunawan mengingatkan agar aturan PMK itu tidak mengenyampingkan aspek kepentingan nasional.
Sebagai contoh, papar dia, akomodasi terhadap peredaran rokok elektrik (Vape) terpaksa dilakukan karena rokok ini masuk klasifikasi HPTL dengan potensi cukai 57 persen dari harga jual eceran. Padahal, rokok elektrik itu sendiri masih menuai pro-kontra karena bisa merugikan petani tembakau.
Hemat dia, optimalisasi penerimaan negara dari bea-cukai yang mencapai Rp 189,35 triliun perlu dibarengi dengan kebijakan yang prudent.
"PMK 146/2017 tidak serta merta ditujukan hanya untuk optimalisasi penerimaan negara. Perlindungan terhadap petani tembakau di dalam negeri juga musti diperhatikan," tegas Heri dalam keterangannya, Minggu (4/3). .
Selanjutnya, kata dia, kontrol terhadap regulator dan internal bea cukai juga tidak kalah penting.
"Sia-sia bicara penerimaan negara dengan kebijakan cukai baru kalau internalnya tanda kutip, tertutup, dan sulit disentuh," kritik legislator Gerindra ini.
Catatan dia, tahun 2013 saja, ada lebih dari 4 ribu kasus selundupan yang berakibat kerugian negara hampir Rp 200 miliar. Ini data versi Bea-Cukai, yang oleh sebagian kalangan, belum terungkap 100 persen.
[wid]