Ketua Koperasi Pedagang Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) Zulkifli Rasyid menÂgatakan, sudah menyampaikan kekhawatirannya terkait beras medium yang mulai langka di pasaran sejak November 2017 lalu kepada pemerintah. "SeÂmenjak HET ditetapkan 1 SepÂtember, beras medium langka di pasaran, bahkan sampai detik ini masih kosong. Saya dua bulan lalu sudah sampaikan ada kekhaÂwatiran kita harus impor," kata Zulkifli di Jakarta, kemarin.
Menurut dia, seharusnya pemerÂintah tidak perlu memberlakukan HET beras medium dan premium karena pada kenyataannya harga kedua jenis beras tersebut justru melebihi HET. Saat ini, harga beras medium di pasar berkisar Rp 11.000 per kilogram (kg), jauh melebihi HET beras medium sebesar Rp 9.450 per kg.
Kondisi yang sama juga terÂjadi pada beras premium di pasaran mencapai Rp 13.000 per kg. Padahal, HET yang ditetapÂkan Rp 12.800 per kg. "Baru kali ini menemukan harga beras tertinggi, Rp 13.000 sampai Rp 14.000 hari ini," ungkapnya.
"HET itu hapus saja. Enggak ada artinya. Buat apa menteri buat undang-undang tapi enggak sesuai dengan kejadian di pasar," kata Zulkifli.
Zulkifli berharap, pemerintah mengembalikan harga beras sesuai perkembangan pasar, atau menÂgubah HET dari Rp 9.450 per kg menjadi Rp 13.000 per kg. Angka tersebut dinilai lebih mewakili harÂga beras yang saat ini, dan bahkan berpotensi naik selama menunggu pasokan beras impor.
"Kita boleh tetapkan lagi dengan harga tertinggi di lapanÂgan saat ini. Misalnya sekarang harga beras medium Rp 12.000 per kg, tetapkan HET jadi Rp 13.000 per kg biar orang enggak sewenang-wenang jualan di atas ini," tuturnya.
Menurut Zulkifli, penetapan HET Rp 9.450 per kg untuk beÂras medium dan Rp 12.800 per kg untuk beras premium sejak September 2017 juga dinilai terÂlalu cepat. Penetapan itu justru membuat peredaran beras sulit didapat. Namun sayang,pada pertemuan selanjutnya Zulkifli tidak diundang.
Guru besar bidang pertanian Universitas Lampung, Bustanul Arifin menilai, kelangkaan beras medium di publik disebabkan kebijakan pemerintah. Selama ini pemerintah belum mampu mendukung penyediaan pangan yang dibutuhkan masyarakat.
"Kalau dikelompokkan, ada tiga hal soal kebijakan pemerÂintah ini. Pertama soal harga eceran tertinggi, kedua soal bantuan pangan non tunai, dan ketiga soal produksi," katanya.
Menurut Bustanul, kebijakan HET dikeluarkan pada waktu yang tidak tepat. Akibatnya, keberadaan beras medium justru menjadi langka. Banyak pihak yang mengolah beras medium menjadi premium. Terlebih tidak masuk akal memberikan sanksi bagi pedagang yang menjual beras di atas HET.
Dia mengaku, sudah meminta agar Menteri Perdagangan EngÂgartiasto Lukita tidak mengeluÂarkan kebijakan HET. Selain itu, dikhawatirkan penggilingan keÂcil akan mati karena HET. BahÂkan, data Badan Pusat Statistik (BPS) ada petani yang mengolah beras medium jadi premium dengan HET Rp 13.700.
"Logikanya, begitu ditekan jadi Rp 9.450 untuk medium dan Rp 12.800 untuk premium, medium akan langka. Benar saja, yang medium langka," sebutnya.
Selain itu, tambah dia, terkait dengan kebijakan bantuan panÂgan nontunai juga sangat tidak masuk akal. Bantuan ini secara tidak langsung juga membuat peran Badan Urusan Logistik (Bulog) berkurang dalam hal menyediakan kebutuhan beras bagi masyarakat.
Akibatnya, bisa dilihat dari jumlah pengadaan beras oleh Bulog yang menurun. Menurut Bustanul, hal itu wajar mengÂingat meskipun pengadaan diÂlakukan Bulog, lembaga tersebut tidak bisa menjual lantaran perannya digantikan voucher bantuan pangan.
Bustanul mengatakan, pemÂbenahan data pangan termasuk produksi beras yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) diperkirakan selesai Agustus mendatang. Tim bersama BPPT akan menggunakan satelit dan aplikasi perangkat lunak yang akan memantau kondisi lahan pertanian secara berkala.
"Kami lagi kontribusi metode penghitungan itu. Kami dengan BPPT gunakan satelit. Baru selesai paling cepat Agustus. Pembenahannya kan lama," cetusnya. ***
BERITA TERKAIT: