Diakui Anggota Komisi XI DPR Bidang Keuangan Johnny G Plate, saat ini ada dua UU yang menjadi prioritas dan tengah dibahas oleh Komisi XI DPR, yakni RUU Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) dan RUU tentang KetenÂtuan Umum Perpajakan (KUP).
"Karena memang banyak sekali revisi undang-undang dan semuanya dianggap penting, namun setiap komisi hanya bisa membahas dua undang-undang secara simultan pada setiap masa sidang. Untuk itu baru dua undang-undang tersebut yang masuk prolegnas. Sementara reÂvisi Undang-Undang Perbankan masih ditangguhkan," terang Johny kepada
Rakyat Merdeka. Politisi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) ini pun tak bisa menjanjikan, kapan revisi UU Perbankan bisa dibahas dan masuk prolegnas.
Anggota Komisi XI DPR lainÂnya Misbakhun menambahkan, belum masuknya RUU PerbankÂan disebabkan revisi yang belum pernah dibahas penyusunannya oleh Komisi XI sejak 2015. Sehingga tidak bisa dimasukkan lagi ke Prolegnas Prioritas.
"Prosesnya itu kan harus ada pembahasan dulu baru masuk Prolegnas," katanya saat diÂhubungi
Rakyat Merdeka. Dihubungi terpisah,
President Director Center for Banking Crisis Achmad Deni Daruri menyesalkan, di mana seharusÂnya revisi UU Perbankan sudah dibahas sejak lama, namun selalu tertunda. Sebab, dengan kondisi ekonomi dan perbankan yang terus berubah, perlu ada pembaÂharuan dalam UU tersebut.
Misalnya saja kemunculan financial technology atau biasa dikenal fintech. Keberadaan fintech tak hanya cukup diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) atau PeraÂturan Bank Indonesia (PBI) saja. Mengingat potensi dan risiko yang tak kecil, UU Perbankan dibutuhkan untuk mengatur itu.
"Apalagi bisnis perbankan ke depan kan memang mengarah ke digital, fintech tak bisa lepas dari itu. Bukan hanya melulu berbicara soal kredit dan kinerja bank," kata Deni saat dihubungi
Rakyat Merdeka. Selain itu, sambung Deni, daÂlam pembahasan revisi UU PerÂbankan juga harus menyeluruh. Tak bisa hanya sebagian.
"Maksudnya nanti DPR jangan cuma bahas perbankan saja, tapi juga BI di dalam UnÂdang-Undang Kebanksentralan terkait wewenang dan tugas dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Janganlah revisi undang-undang ini ditunda terus, mau sampai kapan kalau dinilai ini tidak penting," cetusnya.
Diharapkan, rumusan revisi UU Perbankan nantinya bisa menjawab kebutuhan pembiayaan yang saat ini masih terkonsentrasi pada sektor non produktif.
Selain itu, Deni mengusulkan norma-norma yang disusun dalam revisi UU Perbankan paling tidak dapat tergambarkan dalam delapan prinsip, yakni prinsip penciptaan lapangan kerja, peningkatan akses kredit UMKM, inklusi keuangan, pemerataan akses kredit daerah, pembentukan modal domestik, pembuatan bank khusus dan bank fokus, retriksi bank asing, serta asas resiprokalitas.
Diketahui, ada sejumlah isu krusial dalam RUU Perbankan. Ikatan Bankir Indonesia (IBI) memberikan sembilan usulan dalam RUU Perbankan. Pertama, mengenai prinsip resiprokal. Hal ini terkait tata hubungan perbankÂan internasional harus memperÂhatikan prinsip resiprokal guna mendukung tujuan perbankan. Lalu mengenai bentuk hukum kantor bank asing yang berada di Indonesia.
Bagi perbankan asing yang berkantor pusat di luar Indonesia harus berbadan hukum Indonesia (PT). Ketiga, mengenai izin pemÂbukaan kantor bank dan kantor cabang bank itu sendiri. Dapat diberikan secara berjenjang (muÂlitple license), izin untuk bank yang beroperasi di Indonesia atas dasar modal atau ekuitas.
Keempat, mengenai pemÂbatasan kepemilikan saham bagi pihak asing. Batas kepemilikan saham bank umum bagi setiap warga negara asing paling banyak 40 persen, sisanya 60 persen wajib dimiliki lokal. Lalu mengenai penghapusan pasal-pasal yang terdapat pada RUU Perbankan, seperti menghapus Pasal 43 mengenai penanggung jawab pengelolaan bank, dan Pasal 58 mengenai direktur kepatuhan.
Keenam, mengenai uji kemamÂpuan dan kepatuhan direksi dan komisaris. Kepegawaian bagi bankir lokal dan bankir asing juga harus diatur. Para bankir harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Ke delapan, mengenai batas waktu penyesuaian bagi pihak asing.
Soal batas waktu ini, bagi bank yang berkantor pusat di luar negeri tapi melakukan kegiatan usahanya di Indonesia dan memiliki saham bank umum lebih dari 40 persen diperpendek menjadi lima tahun dari yang sebelumnya 10 tahun. Yang tak kalah pentingnya adalah RUU Perbankan harus diharmonisasi dengan UU Bank Indonesia, UU Otoritas Jasa Keuangan, dan UU Pasar Modal. ***
BERITA TERKAIT: