Chairman Indonesian
Iron and Steel Industry Associations (IISIA) Mas Wigrantoro Roes Setiyadi mengatakan, sampai hari ini baja impor terus memÂbanjiri pasar domestik. Kondisi ini membuat persaingan pasar baja dalam negeri semakin tidak bisa diprediksi.
"Tentu kami (IISIA) menyadari bahwa untuk beberapa spesiÂfikasi tertentu, kami belum dapat sepenuhnya memasok baja yang diperlukan, akan tetapi kami berÂharap agar kami diberi kesempaÂtan untuk bersaing dengan fair," ujarnya di Jakarta.
Menurut dia, baja impor meÂresahkan karena dijual di bawah harga yang wajar. Oleh karena itu, baja impor diperketat dengan regulasi baru.
"Kami mohon agar pemerintah dapat dengan tegas menetapkan kebijakan perlindungan perdaÂgangan untuk produk-produk baja yang telah terbukti masuk dengan harga tidak wajar," tambahnya.
Saat ini, industri baja nasional terus berupaya untuk tumbuh dan berkembang di tengah perÂsaingan yang semakin sengit dengan produk impor. Pihaknya pun melakukan penghematan biaya operasi.
Langkah tersebut sebagai upaya asosiasi dalam meninÂgkatkan daya saing industri baja dalam negeri. "Tentu saja dengan tetap menomorsatukan pelayanan, kualitas, dan produkÂtivitas agar tidak ditinggalkan pasar," katanya.
Menurutnya, konsumsi baja meningkat signifikan dari 11.47 juta ton pada 2015 menjadi 12.67 juta ton pada 2016. Jumlah tersebut naik 11 persen. Dari indikator tersebut diketahui jika peningkatkan penjualan baja sejalan dengan pertumbuhan ekonomi domestik.
"Sektor-sektor pengguna baja yang terpenting adalah sektor konstruksi dan industri manuÂfaktur," tambahnya.
Kendati begitu, konsumsi baja per kapita masih sangat rendah, yaitu 49 kilogram (kg) pada 2016. Kondisi ini menjadi peluÂang bagi industri baja lokal untuk terus tumbuh dan berkembang karena peningkatan kebutuhan baja masih terbuka lebar.
"Konsumsi baja nasional diprediksi akan meningkat hingÂga mencapai 25 juta ton pada tahun 2025," terangnya.
Asosiasi baja juga mengapreÂsiasi langkah pemerintah yang memprioritaskan penggunakan baja lokal dalam proyek inÂfrastruktur dan energi. Ini secara langsung membantu industri baja lokal.
Sementara soal harga gas yang masih mahal, Mas Wigrantoro mengaku memaklumi hal tersebut. "Tampaknya belum ada kesepakaÂtan antara produsen gas dengan transporternya," katanya.
Direktur PT Kratakatu Steel Tbk (KRAS) ini meyakini, denÂgan adanya penurunan harga gas tersebut maka industri manufaktur baja khususnya dapat mengemÂbangkan produktifitas. "Kami masih terus menunggu keputusan pemerintah," tukasnya.
Topang InvestasiDirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan ElekÂtronika (Ilmate) Kementerian Perindustrian I Gusti Putu SuryÂawirawan mengatakan, industri baja menjadi penyumbang utaÂma realisasi investasi di sektor tersebut. Hingga September, inÂvestasi Ilmate mencapai senilai Rp 68,36 triliun
Realisasi investasi Ilmate terbesar berada di industri logÂam, mesin, dan elektronik senilai Rp 51,84 triliun. Putu mengaÂtakan, investasi sektor logam kebanyakan industri baja.
Menurut dia, industri logam menjadi salah satu prioritas peÂmerintah karena bahan bakunya tersedia di Indonesia dan menÂdukung proyek infrastruktur. Saat ini, pemerintah memiliki proyek pengembangan klaster baja karbon di Cilegon, Banten sebesar 10 juta ton pada 2025.
Selain klaster baja Cilegon, produksi baja dalam negeri juga akan bertambah dengan masuknya investor asal China, yaitu Delong Holdings yang akan membangun pabrik baja karbon melalui PT Dexin Steel Indonesia di kawasan industri Morowali, Sulawesi Tengah. ***
BERITA TERKAIT: