Sebut saja posisi utang peÂmerintah terus melonjak dari Rp 2.604,93 triliun pada 2014 menjadi Rp 3.866,45 triliun pada September 2017. Meski diklaim masih dalam batas aman, namun tidak bisa dipungkiri, kenaikan utang lebih dari 30 persen PDB seharusnya menjadi lampu kunÂing dan mesti diwaspadai oleh pemerintah.
Menurut data Bank Indonesia (BI), ULN pemerintah pada Agustus 2017 sebesar 174,94 miliar dolar AS (setara Rp 2.361,7 triliun) dari posisi 2014 senilai 129,74 miliar dolar AS (Rp 1.753 triliun), atau rata-rata naik lebih dari 10 persen per tahunnya.
Kenaikan utang ini diklaim pemerintahan Jokowi-JKkarÂena dipergunakan ke hal yang produktif, yaitu untuk menggerÂakkan sektor riil, yang kemudian diharapkan bisa bedampak pada ekonomi bangsa.
Namun, realisasi pembanguÂnan infrastruktur selama tiga tahun terakhir yang masih di bawah 10 persen, nyatanya belum berdampak signifikan terhadap ekonomi.
Ketua Tim Peneliti LemÂbaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEUI EuÂgenia Mardanugraha menuding, kenaikan ULNtersebut sebagai bentuk ambisius pemerintah dalam mempercepat pembanÂgunan. Karena harus diketahui pula, rasio utang suatu negara perlu dijaga juga kesehatannya.
"Kita tahu bahwa utang diÂgunakan untuk pembangunan infrastruktur. Tapi mau sampai kapan (utang terus)? Karena bagaimanapun juga, utang tetap harus dibatasi. Kalau selalu berÂgantung terhadap utang, kapan Indonesia bisa mandiri?" sindir Eugenia kala dihubungi
Rakyat Merdeka. Eugenia menekankan, konÂdisi utang pemerintah saat ini bukan tanpa risiko. Meski seÂlalu diklaim aman, karena keÂnaikannya masih di bawah 50 persen terhadap PDB, namun tetap ada risiko dari sisi defisit keseimbangan primer dan rasio ULN jangka pendek terhadap cadangan devisa (cadev).
Keseimbangan primer adaÂlah total penerimaan negara dikurangi belanja, di luar pemÂbayaran bunga utang. Bila keÂseimbangan primer mengalami defisit, maka pemerintah harus menarik utang untuk membayar bunga utang.
"Pada 2017, target pertumbuÂhan 5,2 persen dan realisasinya diproyeksi hanya mencapai 5,1 persen. Sedangkan penerimaan pajak tidak memenuhi target di level Rp 1.307,6 triliun. MesÂtinya harus ada keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan target pajak," ucapnya.
Eugenia lalu menyebutkan, di Mei 2017 lalu rasio utang terhadap PDB berada di level 28,1 persen. Rasio ini terus menyusut, setidaknya sejak era 1999-2000. Ketika itu rasionya di kisaran 80 persenan. Adapun, batas aman rasio utang di kisaran 30-35 persen.
"Secara sederhana, dengan rasio utang di batas itu, artinya debitor masih mampu mengÂgunakan pendapatannya untuk kebutuhan lain," terangnya.
Di sisi lain, lanjut Eugenia, faktor melemahnya rupiah juga semakin membuat ekonomi Indonesia sedikit menyedihkan. Diakui Eugenia, pelemahan rupiÂah memang diakibatkan berbagai faktor, termasuk faktor eksternal yang terjadi di lingkup global.
"Tapi di luar itu semua, peleÂmahan rupiah juga terjadi akibat terlalu banyaknya kita impor. Dengan banyak impor, berarti penÂgunaan mata uang dolar lebih beÂsar ketimbang rupiah. Impor juga harus dibatasi," tegas Eugenia.
Selain itu, menurut Eugenia, potensi kenaikan suku bunga AS (
Fed Fund Rate/FFR) menÂjadi faktor pertimbangan swasta dalam menambah utang.PendaÂpat berbeda diutarakan Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede. Ia menilai, rasio ULN terhadap PDB cukup sehat. Ia juga meramal ULN sektor swasta akan menurun di sisa tahun ini.
"Penyebabnya adalah rupiah yang cenderung melemah terhÂadap dolar. Sedangkan swasta belum mau mengambil risiko di tengah permintaan domestik yang masih konsolidasi," terang Josua.
Meski begitu, Josua meliÂhat, BI dan pemerintah perlu mengatur ULN yang berpotensi meningkat, sejalan dengan penÂingkatan kegiatan ekonomi atau pertumbuhan investasi swasta pada tahun ini.
"Dalam mengelola rasio, pemerintah diharapkan terus berupaya dalam meningkatkan penerimaan ekspor, dengan tidak lagi mengandalkan ekspor komoditas dasar. Penerimaan ekspor akan optimal jika pemerÂintah dapat fokus pada produk ekspor dengan nilai tambah yang lebih besar lagi," pungkasnya.
Sebelumnya Direktur EkseÂkutif Departemen Komunikasi BI Agusman Zainal mengataÂkan, posisi ULN masih relatif seÂhat dan terkendali, karena masih lebih baik dibandingkan dengan rata-rata negara peers.
Sekadar diketahui, negara peers adalah negara dengan grade setara yaitu double B. Artinya, pertumbuhan ini paling stabil, tidak fluktuatif, kadang-kadang tinggi kemudian drop.
"BI akan terus memantau perkembangan ULN agar dapat berperan secara optimal dalam mendukung pembiayaan pemÂbangunan, tanpa menimbulkan risiko yang dapat mempengaruhi stabilitas," tutupnya. ***
BERITA TERKAIT: