Defisit Mengintai Bangsa, Utang Sebaiknya Dibatasi

Tiga Tahun Kepemimpinan Jokowi ULN Naik 34,8%

Senin, 23 Oktober 2017, 09:31 WIB
Defisit Mengintai Bangsa, Utang Sebaiknya Dibatasi
Foto/Net
rmol news logo Utang luar negeri menjadi salah satu masalah yang disorot selama pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla. Selama tiga tahun memerintah, utang luar negeri (ULN) Indonesia tercatat naik 34,8 persen.

 Sebut saja posisi utang pe­merintah terus melonjak dari Rp 2.604,93 triliun pada 2014 menjadi Rp 3.866,45 triliun pada September 2017. Meski diklaim masih dalam batas aman, namun tidak bisa dipungkiri, kenaikan utang lebih dari 30 persen PDB seharusnya menjadi lampu kun­ing dan mesti diwaspadai oleh pemerintah.

Menurut data Bank Indonesia (BI), ULN pemerintah pada Agustus 2017 sebesar 174,94 miliar dolar AS (setara Rp 2.361,7 triliun) dari posisi 2014 senilai 129,74 miliar dolar AS (Rp 1.753 triliun), atau rata-rata naik lebih dari 10 persen per tahunnya.

Kenaikan utang ini diklaim pemerintahan Jokowi-JKkar­ena dipergunakan ke hal yang produktif, yaitu untuk mengger­akkan sektor riil, yang kemudian diharapkan bisa bedampak pada ekonomi bangsa.

Namun, realisasi pembangu­nan infrastruktur selama tiga tahun terakhir yang masih di bawah 10 persen, nyatanya belum berdampak signifikan terhadap ekonomi.

Ketua Tim Peneliti Lem­baga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEUI Eu­genia Mardanugraha menuding, kenaikan ULNtersebut sebagai bentuk ambisius pemerintah dalam mempercepat pemban­gunan. Karena harus diketahui pula, rasio utang suatu negara perlu dijaga juga kesehatannya.

"Kita tahu bahwa utang di­gunakan untuk pembangunan infrastruktur. Tapi mau sampai kapan (utang terus)? Karena bagaimanapun juga, utang tetap harus dibatasi. Kalau selalu ber­gantung terhadap utang, kapan Indonesia bisa mandiri?" sindir Eugenia kala dihubungi Rakyat Merdeka.

Eugenia menekankan, kon­disi utang pemerintah saat ini bukan tanpa risiko. Meski se­lalu diklaim aman, karena ke­naikannya masih di bawah 50 persen terhadap PDB, namun tetap ada risiko dari sisi defisit keseimbangan primer dan rasio ULN jangka pendek terhadap cadangan devisa (cadev).

Keseimbangan primer ada­lah total penerimaan negara dikurangi belanja, di luar pem­bayaran bunga utang. Bila ke­seimbangan primer mengalami defisit, maka pemerintah harus menarik utang untuk membayar bunga utang.

"Pada 2017, target pertumbu­han 5,2 persen dan realisasinya diproyeksi hanya mencapai 5,1 persen. Sedangkan penerimaan pajak tidak memenuhi target di level Rp 1.307,6 triliun. Mes­tinya harus ada keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan target pajak," ucapnya.

Eugenia lalu menyebutkan, di Mei 2017 lalu rasio utang terhadap PDB berada di level 28,1 persen. Rasio ini terus menyusut, setidaknya sejak era 1999-2000. Ketika itu rasionya di kisaran 80 persenan. Adapun, batas aman rasio utang di kisaran 30-35 persen.

"Secara sederhana, dengan rasio utang di batas itu, artinya debitor masih mampu meng­gunakan pendapatannya untuk kebutuhan lain," terangnya.

Di sisi lain, lanjut Eugenia, faktor melemahnya rupiah juga semakin membuat ekonomi Indonesia sedikit menyedihkan. Diakui Eugenia, pelemahan rupi­ah memang diakibatkan berbagai faktor, termasuk faktor eksternal yang terjadi di lingkup global.

"Tapi di luar itu semua, pele­mahan rupiah juga terjadi akibat terlalu banyaknya kita impor. Dengan banyak impor, berarti pen­gunaan mata uang dolar lebih be­sar ketimbang rupiah. Impor juga harus dibatasi," tegas Eugenia.

Selain itu, menurut Eugenia, potensi kenaikan suku bunga AS (Fed Fund Rate/FFR) men­jadi faktor pertimbangan swasta dalam menambah utang.Penda­pat berbeda diutarakan Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede. Ia menilai, rasio ULN terhadap PDB cukup sehat. Ia juga meramal ULN sektor swasta akan menurun di sisa tahun ini.

"Penyebabnya adalah rupiah yang cenderung melemah terh­adap dolar. Sedangkan swasta belum mau mengambil risiko di tengah permintaan domestik yang masih konsolidasi," terang Josua.

Meski begitu, Josua meli­hat, BI dan pemerintah perlu mengatur ULN yang berpotensi meningkat, sejalan dengan pen­ingkatan kegiatan ekonomi atau pertumbuhan investasi swasta pada tahun ini.

"Dalam mengelola rasio, pemerintah diharapkan terus berupaya dalam meningkatkan penerimaan ekspor, dengan tidak lagi mengandalkan ekspor komoditas dasar. Penerimaan ekspor akan optimal jika pemer­intah dapat fokus pada produk ekspor dengan nilai tambah yang lebih besar lagi," pungkasnya.

Sebelumnya Direktur Ekse­kutif Departemen Komunikasi BI Agusman Zainal mengata­kan, posisi ULN masih relatif se­hat dan terkendali, karena masih lebih baik dibandingkan dengan rata-rata negara peers.

Sekadar diketahui, negara peers adalah negara dengan grade setara yaitu double B. Artinya, pertumbuhan ini paling stabil, tidak fluktuatif, kadang-kadang tinggi kemudian drop.

"BI akan terus memantau perkembangan ULN agar dapat berperan secara optimal dalam mendukung pembiayaan pem­bangunan, tanpa menimbulkan risiko yang dapat mempengaruhi stabilitas," tutupnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA