BI Waspadai Risiko Rencana Pengetatan Moneter Amerika

Tahan Suku Bunga Acuan Di 4,25 Persen

Jumat, 20 Oktober 2017, 08:00 WIB
BI Waspadai Risiko Rencana Pengetatan Moneter Amerika
Foto/Net
rmol news logo Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) memutuskan menahan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate (repo rate) di level 4,25 persen. Bank Sentral beralasan, repo rate saat ini masih ampuh menahan laju inflasi.

Asisten Gubernur Kepala De­partemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo menjelaskan, keputusan tersebut konsisten pula dengan upaya menjaga stabilitas mak­roekonomi dan stabilitas sistem keuangan, serta mendorong laju pemulihan ekonomi den­gan tetap mempertimbangkan dinamika perekonomian global maupun domestik.

"Tingkat suku bunga kebi­jakan saat ini masih memadai untuk menjaga laju inflasi, se­suai dengan sasaran dan defisit transaksi berjalan pada level yang sehat," terangnya di kon­ferensi pers pengumuman RDGBI di Jakarta, kemarin.

Kendati begitu, lanjut Dody, BI tetap mewaspadai sejumlah risiko, baik yang berasal dari global terkait rencana pengeta­tan kebijakan moneter dan refor­masi fiskal di AS, serta tekanan geopolitik di Eropa dan seme­nanjung Korea, maupun risiko dari domestik, seperti masih berlanjutnya konsolidasi sektor korporasi dan perbankan.

Tak hanya itu, Bank Sentral juga terus berkoordinasi dengan pemerintah untuk memperkuat bauran kebijakan dalam rangka menjaga stabilitas makroekono­mi, stabilitas sistem keuangan dan memperkokoh fundamental ekonomi Indonesia.

Menurut Dody, perbaikan ekonomi dunia terus berlanjut dengan kecenderungan lebih tinggi, terutama didorong perbai­kan pertumbuhan ekonomi Eropa dan Tiongkok. Di Eropa, im­buhnya, pertumbuhan ekonomi diperkirakan lebih tinggi seiring perbaikan kinerja ekspor, pen­ingkatan investasi, serta perkem­bangan sektor keuangan yang semakin kondusif.

Sementara perekonomian Tiongkok diperkirakan lebih tinggi dari proyeksi sebelum­nya. Hal ini sejalan dengan peningkatan kinerja perdagan­gan internasional dan kegiatan konsumsi swasta yang tetap kuat. Sedangkan perekonomian AS diprediksi tetap tumbuh sesuai proyeksi didukung oleh aktivitas konsumsi dan produksi yang solid.

Di sisi lain, rupiah secara rata-rata menguat pada September 2017, meskipun melemah di akhir bulan. Secara rata-rata har­ian selama bulan September Ru­piah cenderung menguat sebesar 0,27 persen menjadi Rp 13.307 per dolar AS.

"Pelemahan yang terjadi pada akhir bulan juga dialami oleh hampir seluruh mata uang dunia sebagai dampak dari meningkat­nya ekspektasi kenaikan suku bunga, normalisasi kebijakan moneter serta rencana reformasi pajak di AS," kata Dody.

BI, sambung Dody, akan tetap melakukan langkah-lang­kah stabilisasi nilai tukar sesuai nilai fundamentalnya, dengan tetap menjaga bekerjanya me­kanisme pasar.

Ekonom SKHA Institute for Global Competitiveness Eric Sugandi cukup menyayangkan, keputusan BIyang menahan repo rate. Pasalnya ia menilai, perkembangan inflasi saat ini sebenarnya cukup memberikan ruang bagi BIuntuk kembali me­mangkas suku bunga acuannya.

"Tetapi pemangkasan lebih lan­jut berisiko menekan rupiah, kar­ena selisih suku bunga riil dengan advanced economies berkurang. Tapi kalau BIakhirnya menahan (repo rate), pasti ada banyak per­timbangan faktornya," ucap Eric kepada Rakyat Merdeka.

Ia berpendapat, ditahannya repo rate kemarin lantaran per­tumbuhan kredit yang masih lambat. Ditambah lagi, BIingin wait and see dari dampak dua kali pemangkasan suku bunga sebelumnya, yaitu pada Agustus dan September sebanyak 50 ba­sis poin (bps), ke sektor riil dan pertumbuhan ekonomi.

"Di Agustus 2017 saja pertum­buhan kredit hanya sebesar 8,4 persen year on year (YoY). Meski lebih tinggi dibanding pertum­buhan bulan sebelumnya yang sebesar 7,9 persen yoy. Dampak dua kali repo rate turun pun be­lum signifikan," tuturnya.

Hal itu dikhawatirkan bisa mengurangi daya tarik bagi investor asing untuk masuk ke Indonesia. Di samping itu, masih banyak faktor ketidakpastian global yang bisa memicu arus modal keluar (capital outflow).

"Misalnya, kebijakan fiskal Presiden AS Donald Trump yang berencana memangkas pajak dan berpotensi memperkuat dolar AS. Juga faktor geopolitik di se­menanjung Korea dan Spanyol," terang Eric. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA