Asisten Gubernur Kepala DeÂpartemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo menjelaskan, keputusan tersebut konsisten pula dengan upaya menjaga stabilitas makÂroekonomi dan stabilitas sistem keuangan, serta mendorong laju pemulihan ekonomi denÂgan tetap mempertimbangkan dinamika perekonomian global maupun domestik.
"Tingkat suku bunga kebiÂjakan saat ini masih memadai untuk menjaga laju inflasi, seÂsuai dengan sasaran dan defisit transaksi berjalan pada level yang sehat," terangnya di konÂferensi pers pengumuman RDGBI di Jakarta, kemarin.
Kendati begitu, lanjut Dody, BI tetap mewaspadai sejumlah risiko, baik yang berasal dari global terkait rencana pengetaÂtan kebijakan moneter dan reforÂmasi fiskal di AS, serta tekanan geopolitik di Eropa dan semeÂnanjung Korea, maupun risiko dari domestik, seperti masih berlanjutnya konsolidasi sektor korporasi dan perbankan.
Tak hanya itu, Bank Sentral juga terus berkoordinasi dengan pemerintah untuk memperkuat bauran kebijakan dalam rangka menjaga stabilitas makroekonoÂmi, stabilitas sistem keuangan dan memperkokoh fundamental ekonomi Indonesia.
Menurut Dody, perbaikan ekonomi dunia terus berlanjut dengan kecenderungan lebih tinggi, terutama didorong perbaiÂkan pertumbuhan ekonomi Eropa dan Tiongkok. Di Eropa, imÂbuhnya, pertumbuhan ekonomi diperkirakan lebih tinggi seiring perbaikan kinerja ekspor, penÂingkatan investasi, serta perkemÂbangan sektor keuangan yang semakin kondusif.
Sementara perekonomian Tiongkok diperkirakan lebih tinggi dari proyeksi sebelumÂnya. Hal ini sejalan dengan peningkatan kinerja perdaganÂgan internasional dan kegiatan konsumsi swasta yang tetap kuat. Sedangkan perekonomian AS diprediksi tetap tumbuh sesuai proyeksi didukung oleh aktivitas konsumsi dan produksi yang solid.
Di sisi lain, rupiah secara rata-rata menguat pada September 2017, meskipun melemah di akhir bulan. Secara rata-rata harÂian selama bulan September RuÂpiah cenderung menguat sebesar 0,27 persen menjadi Rp 13.307 per dolar AS.
"Pelemahan yang terjadi pada akhir bulan juga dialami oleh hampir seluruh mata uang dunia sebagai dampak dari meningkatÂnya ekspektasi kenaikan suku bunga, normalisasi kebijakan moneter serta rencana reformasi pajak di AS," kata Dody.
BI, sambung Dody, akan tetap melakukan langkah-langÂkah stabilisasi nilai tukar sesuai nilai fundamentalnya, dengan tetap menjaga bekerjanya meÂkanisme pasar.
Ekonom SKHA
Institute for Global Competitiveness Eric Sugandi cukup menyayangkan, keputusan BIyang menahan repo rate. Pasalnya ia menilai, perkembangan inflasi saat ini sebenarnya cukup memberikan ruang bagi BIuntuk kembali meÂmangkas suku bunga acuannya.
"Tetapi pemangkasan lebih lanÂjut berisiko menekan rupiah, karÂena selisih suku bunga riil dengan
advanced economies berkurang. Tapi kalau BIakhirnya menahan (
repo rate), pasti ada banyak perÂtimbangan faktornya," ucap Eric kepada
Rakyat Merdeka.
Ia berpendapat, ditahannya repo rate kemarin lantaran perÂtumbuhan kredit yang masih lambat. Ditambah lagi, BIingin wait and see dari dampak dua kali pemangkasan suku bunga sebelumnya, yaitu pada Agustus dan September sebanyak 50 baÂsis poin (bps), ke sektor riil dan pertumbuhan ekonomi.
"Di Agustus 2017 saja pertumÂbuhan kredit hanya sebesar 8,4 persen
year on year (YoY). Meski lebih tinggi dibanding pertumÂbuhan bulan sebelumnya yang sebesar 7,9 persen yoy. Dampak dua kali repo rate turun pun beÂlum signifikan," tuturnya.
Hal itu dikhawatirkan bisa mengurangi daya tarik bagi investor asing untuk masuk ke Indonesia. Di samping itu, masih banyak faktor ketidakpastian global yang bisa memicu arus modal keluar (
capital outflow).
"Misalnya, kebijakan fiskal Presiden AS Donald Trump yang berencana memangkas pajak dan berpotensi memperkuat dolar AS. Juga faktor geopolitik di seÂmenanjung Korea dan Spanyol," terang Eric. ***
BERITA TERKAIT: