"Saya sudah berbicara dengan Ibu Susi. KKP butuh kapal 3500 dengan ukuran 10 GT, 20 GT dan 30 GT. Kalau kita produksi, sangat mendukung sekali," kata Nasir di sela-sela kunjunganya ke pabrik pembuatan kapal baja, di Cikarang, Jawa Barat, kemarin.
Nasir pun mengapresiasi perkembangan baja untuk menÂdukung industri perkapalan nasional saat ini. Menurutnya, sepanjang memiliki inovasi, peneliti-peneliti dan industri yang mendukung riset, industri perkapalan ini akan jauh lebih baik lagi ke depannya.
"Industri kapal ini akan kita dorong agar lebih dikenal di masyarakat. Dan yang penting harganya juga lebih kompetitif bila dibandingkan dengan kapal yang lain," ujarnya.
Lebih lanjut, Nasir mengaÂtakan selama ini kapal-kapal nelayan lebih mengandalkan bahan baku dari kayu untuk pembuatannya. Sementara di satu sisi, harga kayu saat ini harÂganya terus melejit dan makin mahal. Adapun jika mengguÂnakan bahan fiber, keseluruhan bahan bakunya harus diimpor dari negara lain.
"Kalau bahan fiber inikan diproduksi di luar negeri. Kalau harganya naik, tentu harga kapal juga naik. Kemudian dia juga akan kena pajak. Sementara kalau kayu pasti limited. Jadi penggunaanya sangat terbatas. Kalau baja, kita bisa penuhi dari dalam negeri," jelasnya.
Nasir sendiri mengaku, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sudah setuju untuk penggunaan baja bagi kapal-kapal nelayan.
"Pembicaraan waktu di Semarang sangat setuju. Tinggal disertifikasi. Begitu selesai, dis akan ambil alih modelnya," tuturnya.
Untuk itu, dia mendorong para pelaku industri perkapalan segera melakukan sertifikasi agar kapal berbahan baja ini bisa segera diproduksi massal.
"Kalau kita produksi, akan sangat mendukung sekali.Karena itu harus cepat distanÂdardisasi sehingga bisa kerja sama untuk sediakan platnya tadi. Jadi ini harus kita garap betul," katanya.
Nasir mengatakan, ke depan untuk konstruksi kapal mengÂgunakan bahan baja. Selain proses pembuatanya lebih mudah dan lebih cepat, usia penggunaannya pun relatif bisa lebih panjang. Kebutuhan baÂhan bakunya pun bisa dipasok dari dalam negeri.
"Bagi pemerintah, bagaimana agar industri baja bisa meningkat dengan baik. Termasuk ritelÂnya," jelasnya.
Nasir memastikan kapal baja yang akan diperuntukkan bagi nelayan ini 100 persen buatan anak negeri. Harganya pun diÂpastikan lebih murah daripada kapal kayu yang biasa dibuat nelayan dan kapal kapal fiber yang sebelumnya pernah diproduksi Kementerian Kelautan dan Perikanan.
"Anggapan bahwa baja itu mahal keliru karena dibuktikan disini ternyata jauh lebih murah dari kayu dan fiber. Life time juga dua kali lipat dari fiber dan kayu karena usianya bisa sampai 20 tahun lebih. Kemudian hemat energi. Jadi jauh lebih menjanjiÂkan," katanya.
Untuk itu, dia mengajak Menteri Susi untuk berkontribusi bagi industri anak bangsa. Apalagi bahan baja yang akan digunakan nanti 100 persen lokal. Harganya pun menurutnya, jauh lebih murah. Pengerjaannya pun jauh lebih cepat.
"Kita ambil contoh untuk 10 GT, fiber itu Rp 420 juta, kalau kayu 350 juta. Sementara kalau baja bisa 270 juta. Jauh lebih murah. Kemudian kalau diproduksi 1 hari itu bisa 10 kapal. 1 bulan bisa 300 kapal. Kita bisa suplai 3.500-3.600 kapal. Tinggal jam kerja saja ditambah. Jadi sangat memungÂkinkan," jelasnya.
Kendati demikian, bekas Rektor Universitas Diponegoro ini menilai penggunaan baja bagi industri kapal nelayan ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Pasalnya, saat ini sumberdaya manusia untuk ekspansi ini masih terbatas.
Di tempat sama, Pakar Perkapalan Universitas Indonesia (UI) Hadin mengkritik kebijakan Menteri Susi yang mengandalÂkan bahan fiber untuk penyediaan kapal nelayan. ***
BERITA TERKAIT: