"Uang tebusan repatriasi dan deklarasi tax amnesty yang bisa dihasilkan untuk penerimaan pajak sekitar Rp 80 triliun sampai Rp 90 triliun," prediksi Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk Anton GuÂnawan dalam seminar di kantor Kementerian Koordinator BiÂdang Perekonomian, Jakarta, kemarin.
Anton memperkirakan Warga Negara Indonesia (WNI) yang memiliki dana-dana di luÂar negeri akan lebih banyak memiliki melakukan deklarasi harta dibandingkan repatriasi. Karena, mereka inginkan data tetap bisa digunakan dengan bebas, tidak ditahan.
"Kan kini ada omongan (beÂredar-red) sudah lah, deklarasi dulu saja, biar bisa keluar lagi dananya. Karena deklarasi di dalam negeri tidak ada kewaÂjiban di-
lock (kunci) 3 tahun," jelas Anton.
Dia mengatakan, pemilik modal akan melakukan berÂbagi cara yang menguntungkan dirinya. Salah satunya tentu menghindari supaya dana tidak mengendap di Indonesia dalam jangka waktu 3 tahun.
Dengan asumsi penerimaan tax amnesty Rp 80 triliun samÂpai Rp 90 triliun, kata Anton, maka masih ada kekurangan sekitar Rp 70 triliun sampai Rp 80 triliun untuk menutup defisit di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016.
"Tanpa tax amnesty pun pasti ada
shortfall karena tahun lalu juga sama, tetapi anggaran ditutupi pakai sistem ijon (paÂjak)," katanya.
Menurutnya, seharusnya penerimaan pajak dari tax amnesty jangan dimasukkan ke APBN. Dana bisa disimpan buat diajukan untuk anggaran tahun depan.
Direktur Eksekutif Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank InÂdonesia (BI) Juda Agung menÂgungkapkan, kebijakan tax amnesty telah memberikan efek positif. Menurutnya, seÂjak Undang-Undang (UU) Pengampunan Pajak disahkan, rupiah mengalami penguatan.
Dia menyebutkan, aliran dana asing yang masuk (
capiÂtal inflow ) ke Indonesia telah mencapai Rp 110 triliun atau setara dengan 8,5 miliar dolar AS hingga Juli 2016.
Dia memprediksi, rupiahÂberpotensi terus menguat. Sebab, prediksi penundaan kenaikan suku bunga acuan
The Fed atau
Fed Fund Rate (FFR) maksimal satu kali di tahun ini akan mendorong peningkatan aliran dana ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
"Inflow sangat besar karena faktor pendorong penuhnya berasal dari tax amnest. Di samping ada faktor dari global lainnya, seperti penundaan Fed Fund Rate, berlanjutnya kebiÂjakan easing dari negara lain, seperti Jepang dan Eropa," terang Juda.
Dia menuturkan, Indonesia merupakan salah satu negara tujuan aliran dana asing dari pelaku pasar ke depan, selain Filipina dan India. Alasannya, karena fundamental makro dan prospek ekonomi Indonesia seÂmakin membaik dibandingkan negara lain.
Hal itu, lanjut Juda, ditunÂjukkan dari terjaganya inflasi 4 persen sepanjang tahun, deÂfisit transaksi berjalan yang diprediksi 2,2 persen di 2016 dan kuartal II-2016 mencapai 2,1 persen. Likuiditas terjaga sehingga tidak ada pengetatan di pasar uang dan perekonoÂmian.
"Fundamental makro IndoÂnesia semakin membaik, defisit transaksi berjalan, inflasi sehÂingga uang masuk diprediksi terus mengalir. Indonesia menÂjadi destinasi inflow ke depan, bersama India, dan Filipina karena dianggap punya fundaÂmental dan prospek ekonomi yang lebih baik dibanding negara lain," tuturnya.
Namun, dirinya mengingatÂkan, banjir dana hasil repatriasi dari UU Tax Amnesty dapat memicu sejumlah risiko jika tanpa pengelolaan yang tepat dan ketidaktersediaan instruÂmen investasi untuk menamÂpung dana-dana tersebut.
Sedikit lebih rendah, BI memperkirakan repatriasi dana dari tax amnesty hanya sebeÂsar Rp 560 triliun. Sementara pemerintah menargetkan sekiÂtar Rp 1.000 triliun. ***