"Ada apa. Ada kepentingan apa? Presiden Jokowi sudah bisa mengambil keputusan. Apalagi kuat kehendak masyarakat setempat agar kilang dibangun di darat dan secara logika memang bisa mensejahterakan rakyat ketimbang dibangun di laut lepas," kata peneliti‎ dari‎ Center for Indonesian Political and Social Studies (CIPSS), Hailuki kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (24/2).
Menurut dia, dalam membangun kilang tersebut banyak aspek yang harus dipertimbangkan. Mulai dari aspek efisiensi, resiko dan yang terpenting adalah pemberdayaan lingkungan, serta manfaat buat masyarakat.
"Dari dua opsi yang ada, menurut saya membangun kilang di darat adalah opsi yang tepat. Roda perekonomian rakyat bisa terangkat, ketimbang di laut lepas," ujarnya.
Pengamat dari Universitas Nasional (Unas) ini berharap, presiden Jokowi tidak salah dalam mengambil keputusan seperti pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung yang tanpa konsep yang matang.
"Semuanya tiba-tiba. Tapi untuk pembangunan kilang gas abadi Blok Masela banyak kajian yang condong ke opsi di darat. Dan ini harus menjadi pertimbangan presiden," ujarnya.
Hailuki juga mengingatkan Presiden Jokowi, tentang materi kampanyenya yang ingin membangun wilayah dari pesisir. Tentunya, efek dari membangun tersebut adalah masyarakat (people).
"Nah, kalau dibangun di laut, apa efek positif yang dirasakan masyarakat setempat. Kalau pada akhirnya presiden memilih opsi di laut, maka kecurigaan publik terjawab kalau dibalik itu semua adalah kepentingan asing. Sama halnya dengan pembangunan kereta api cepat. Artinya pemerintah ditekan oleh kepentingan asing" tambahnya.
Tak itu saja, publik semakin memahami kalau presiden yang mereka harapkan bisa mensejahterakan rakyat, ternyata tidak paham konsep Trisakti dan Nawacita sesungguhnya.
"Semakin kuat kesan kalau program Trisakti dan Nawacita hanya jargon belaka alias dagangan di kampanye saja," demikian Hailuki.
[sam]