Terhadap tuduhan ini tenaga ahli Kemenko Maritim dan Sumber Daya DR. Haposan Napitupulu dengan tegas membantahnya.
"Tuduhan FB (Faisal Basri) tidak berdasar sama sekali! Pengembangan kilang LNG darat dengan mengalirkan gas melalui jalur pipa dari lapangan Abadi ke Pulau Selaru yang berjarak 90 Km, membutuhkan jenis pipa khusus yang memenuhi beberapa persyaratan teknis yang tidak mampu dipenuhi speknya oleh Grup Bakrie selaku produsen pipa," kata Haposan dalam keterangannya, Minggu (31/1).
Pipa yang dibutuhkan, jelasnya, harus mampu menahan tekanan air di dasar laut di kedalaman sekian ribu meter, tahan terhadap proses korosi yang terjadi di dasar laut, tahan menahan timbunan longsoran di dasar laut dan flexible mengantisipasi tekanan arus air di dasar laut.
Menurut doktor di bidang teknik perminyakan ini, jenis pipa yang memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut hingga saat ini belum diproduksikan di Indonesia, termasuk oleh Grup Bakrie sekalipun. Atau dengan kata lain, seluruh perpipaan untuk kilang LNG darat masih perlu diimpor.
Selain itu Haposan juga mengoreksi pernyataan Faisal Basri yang menyebut bagi hasil gas di Blok Masela adalah 70% untuk pemerintah dan 30% untuk kontraktor.
"Pernyataan bahwa skema floating akan memberikan pendapatan bagian pemerintah 70% dan swasta 30% muncul adalah karena yang bersangkutan (FB) tidak memahami tentang PSC (production sharing contract). Yang benar, bagian Pemerintah yang diperoleh setelah gross produksi dikurangi oleh cost recovery dan bagi hasil, untuk Blok Masela adalah 60% untuk pemerintah dan 40 % untuk kontraktor."
Haposan melanjutkan, memang umumnya bagi hasil untuk gas adalah 70/30 namun khusus di Blok Masela bagi hasilnya adalah 60/40 karena blok ini dikategorikan blok frontier yang risiko eksplorasinya tinggi. Selain itu, prosentase bagian pemerintah sangat bergantung kepada harga jual LNG yang diikat dengan harga minyak dunia.
"Makin rendah harga minyak dunia, maka makin besar volume cost recovery sehingga makin kecil pula bagian pemerintah," tukasnya.
[dem]
BERITA TERKAIT: