Anggota Komnas HAM, Natalius Pigai, menjelaskan kebijakan tersebut telah menyengsarakan petani sawit yang tidak mampu membayar pajak ekspor sebesar US$ 50 per ton untuk CPO dan US$ 30 per ton untuk olein (produk turunan sawit).
Menurutnya, pemerintah tidak melakukan uji publik dari dampak dikeluarkannya PP 24/2015. Semestinya pemerintah bisa mempertimbangkan aspek perlindungan kepada petani, karena dalam PP itu terdapat pelanggaran atas perlindungan terhadap petani.
"Disadari atau tidak, peraturan yang tidak menguntungkan masyarakat bisa dikategorikan dalam pelanggaran HAM," ujar Natalius dalam diskusi publik yang diadakan Institut Soekarno Hatta (ISH) di Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (26/1).
Dia menambahkan, dampak kebijakan pemerintah tersebut juga berpengaruh terhadap penguasaan lahan oleh korporasi. Sebab, para petani kelapa sawit yang tidak mampu membayar biaya ekspor akan menjual lahannya kepada perusahaan besar.
"Ke depan bisa saja kepemilihan lahan untuk petani bisa berkurang dari 45 persen. Ini dampaknya memang tidak sekarang, kalau tidak dicabut akan menimbulkan ketimpangan antara petani dan korporasi, di tahun-tahun mendatang lahan untuk petani bisa berkurang," imbuhnya.
Di kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Viva Yoga Mauladi, juga
menilai bahwa kebijakan tersebut menekan petani kecil. Menurutnya, jika pemerintah ingin menjaga harga sawit, kebijakan yang diambil bukan dengan sistem pungutan yang dibebankan kepada petani sawit.
"Menurut saya semestinya pemerintah membuat regulasi yang lebih sesuai dengan roh UU perkebunan untuk mensejahterakan petani sawit. Jadi PP ini harus diperbaiki dan diganti dengan subtansi yang berpihak kepada petani," ujarnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: