"Bangsa bangsa macam apa kita, yang terus-menerus menutupi tabir kelam sejarahnya sendiri, kendati telah banyak bukti dan saksi dari artefak hingga para korban dan penyintas sanggup bercerita tentang rangkaian luka dan keperihan yang mereka alami," kata Direktur Perkumpulan Partisipasi Indonesia, Yulia Evina Bhara.
Kegelisahan inilah yang mendorong Partisipasi Indonesia berinisiatif menggelar sebuah acara bertajuk Rekoleksi Memori, serangkaian kegiatan seni instalasi, film, foto, dan musik yang dipusatkan pada sebuah bangunan museum temporer yang dibangun di area Plaza Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat.
Rekoleksi Memori akan diawali dengan Festival Film Rekoleksi Memori. Ada 15 film yang akan diputar selama 4-10 Desember 2015 di Kineforum, TIM. Empat film di antaranya merupakan film baru yang diproduksi khusus untuk program Rekoleksi Memori:
Tida Lupa†karya sutradara Asrida Elisabeth,
Saudara dalam Sejarah†karya sutradara Amerta Kusuma,
Tarung†karya sutradara Steve Pillar Setiabudi, dan
The Anatomy of Terror†karya sutradara Bayu Prihantoro Filemon.
Keempat film ini bercerita tentang suara-suara dari masa lalu untuk menyatakan masa depan.
Pemutaran perdana keempat film dijadwalkan besok (Sabtu, 5/12) pukul 14.15 dan 17.00 dilanjutkan diskusi dengan para pembuat film.
Dalam penyelenggaraan Festival Film Rekoleksi Memori, Partisipasi Indonesia berkolaborasi dengan Komnas HAM dan Dewan Kesenian Jakarta. Kendati festival film telah dimulai hari ini (Jumat, 4/12), namun Museum Temporer baru akan dibuka pada Senin (7/12) mendatang, pukul 19.00 WIB. Seluruh rangkaian acara Rekoleksi Memori dibuka untuk umum dan gratis.
Rangkaian gambar, foto, musik, instalasi seni dan suara-suara dalam Rekoleksi Memori disuguhkan bukan sekadar untuk mengurai kisah-kisah pedih dan segala kengerian, tetapi diharapkan ini bisa menjadi kaca benggala bagi masyarakat Indonesia untuk belajar memahami sejarah masa lalu.
"Tanpa memahami sejarah masa lalu, kita akan tersesat sebagai bangsa yang terbelenggu dalam belukar kebohongan dan kekerasan tanpa akhir,†tutur Yulia melalui rilis tertulisnya.
Ia berharap, perbedaan apapun ke depannya tidak boleh lagi diselesaikan dengan cara kekerasan
.[wid]
BERITA TERKAIT: