Namun sayangnya industri ini terus mendapat tekanan. Ironisnya, tekanan itu bukan datang dari persaingan bisnis, tapi regulasi yang ditelorkan pemerintah.
Terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.20/2015 yang mewajibkan IHT membayar cukai di muka sebelum waktunya. Misalnya, pembayaran yang seharusnya di Januari/Februari 2016 sudah harus dibayar pada Desember 2015. Jumlahnya pun sangat besar dan dipastikan akan mengganggu pengelolaan keuangan perusahaan (cash flow).
Gappri mencatat, IHT menyetor kurang lebih Rp 20 triliun atau 95 persen
penerimaan negara dari sektor cukai yang dihasilkan dari industri
nasional kretek. Jumlah itu terdiri dari pembayaran cukai, pajak pertambahan nilai, dan pajak daerah dan retribusi pendapatan daerah.
"Ini negara disubsidi IHT," ujar Ketua Gappri, Ismanu Soemiran dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (26/11).
Karena itu, menurut dia, IHT seharusnya layak disebut pejuang ekonomi bangsa. "Apa ada dalam sejarah ekonomi kita, industri yang mampu membayar seperti itu," imbuhnya.
Ismanu pun tak habis pikir dengan sikap pemerintah yang memaksa IHT untuk setor cukai lebih awal. Dia mengutarakan, betapa beratnya IHT saat ini menyediakan uang cukai yang disetor di depan itu.
"Dengan instrumen kebijakan dan siasat apa yang akan digunakan oleh IHT untuk memenuhi target tersebut? Bisa
ndak pemerintah mencarikan cara bagaimana IHT bisa setor cukai yang nilainya sebesar 2,5 kali nilai transaksi satu bulan," kritik Ismanu.
Tanpa tekanan cukai seberat itupun kinerja IHT terus melemah sehingga harus memutus hubungan kerja dengan puluhan ribu karyawannya. Tahun lalu, IHT sudah mem-PHK setidaknya 10 ribu pekerja. Tahun ini jumlah itu bertambah menjadi 15 ribu pekerja dan diperkirakan akan melonjak sangat besar di tahun depan.
Jumlah pabrik rokok pun menyusut drastis, sejak 2009, ada 4.900 pabrik rokok. Dengan kenaikan tarif cukai tiap tahun, akhir 2014 hanya tinggal 600 pabrik.
"Itu pun yang aktif mengajukan pita cukai hanya 100, sisanya 500 hampir kolaps," pungkas Ismanu.
[wid]
BERITA TERKAIT: