"Pertamina hanya mampu berkontribusi 21 persen dari produksi minyak nasional ini. Ini terjadi karena seÂbagian besar blok minyak di Indonesia justru dikelola perusahaan minyak asing. Bahkan sebagian besar blok tersebut adalah sumur minÂyak yang sudah berusia tua," kata Wianda.
Padahal, sebagai perusaÂhaan minyak milik Negara, Pertamina ingin seluruh sumÂber migas bisa dikapitalisasi sebesar-besarnya untuk keÂmakmuran rakyat. Produksi minyak tersebut, kata dia, tenÂtunya masih jauh bila dibandÂingkan BUMN di negara lain, atau
National Oil Company (NOC), umumnya sudah bisa berkontribusi lebih dari 50 persen produksi minyaknya.
Ia mengatakan, penguaÂsaan asing terhadap blok-blok minyak di Indonesia masih sangat dominan. "Seperti Sumatera sampai Timur Indonesia, dikuasai asing. Swasta nasional sulit berkembang. Tidak semua hasil produksi bisa maksiÂmal diproses hingga dimanÂfaatkan di dalam negeri," katanya.
Saat ini, kata Wianda, PerÂtamina tengah mengevaluasi blok-blok yang akan habis masa kontrak hingga 2025. Sayangnya, ia masih enggan menyebutkan wilayah kerja mana saja yang menjadi incaran Pertamina.
Ia juga menyesalkan minimnya pembangunan infrastruktur gas bumi, seÂhingga membuat gas bumi nasional tidak termanfaatkan secara maksimal, khususnya untuk bahan bakar gas kendÂaraan bermotor.
Bahkan, produksi gas PerÂtamina sendiri masih berada di bawah Petronas yang telah memberikan kontribusinya hingga 47 persen secara nasional. "Bertahun-tahun kita masih tidak bisa manÂfaatkan gas alam secara langsung," sesalnya.
Menurut Direktur EkseÂkutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro, PerÂtamina memiliki banyak wilayah kerja yang masih bisa dioptimalkan. Sehingga, bila ingin mengelola blok-blok minyak yang saat ini dikuasai asing harus melalui mekanisme kerja business to business.
"Artinya, tidak bisa langÂsung mengambil alih blok-blok minyak yang saat ini dikelola asing. Pertamina harus masuk dan bekerja sama dengan perusahaan tersebut," katanya kepada
Rakyat Merdeka. ***