Hal ini diungkapkan pengamat pertambangan IPB Lukman Manulang. Dia menilai, reÂnegosiasi kontrak karya yang dilakukan saat ini malah menyeÂjajarkan posisi negara dengan perusahaan tambang.
"Posisi negara harus lebih tinggi dari perusahaan tambang. Jadi KK dan PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan BaÂtubara) seharusnya langsung diubah sesuai yang dikendaki negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 169 huruf B Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Minerba," ujarnya kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Karena itu, renegosiasi kontrak tambang harus dihentikan karena tidak sesuai dengan UU Minerba. UU tersebut hanya memberikan waktu selama satu tahun pasca diberlakukannya pada 12 Januari 2009. Jadi, kata dia, setelah 12 JanuÂari 2010 seharusnya renegosiasi yang dilakukan tersebut sudah tidak sesuai dengan ketentuan dan amanat undang-undang.
"Hasil renegosiasi tersebut juga patut dipertanyakan dari sisi legalitasnya karena sudah tidak berdasar hukum," tegasnya.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Energi PertambanÂgan (PUSHEP) Bisman Bhaktiar memertanyakan, lambatnya pemerintah mengurus reneÂgosiasi. "Sudah 6 tahun lebih Undang-Undang Minerba berÂlaku, baru satu perusahaan dari 107 perusahaan pemegang KK dan PKP2B yang sudah tuntas renegosiasinya," tuturnya.
Pemerintah, menurutnya, harus jelas apakah bisa menyeleÂsaikan renegosiasi ini dengan waktu cepat atau sudah menyerah dan menyatakan gagal. "Tata kelola pertambangan saat ini harus dengan sistem izin yang lebih sesuai dengan Pasal 33 Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945," tegasnya.
Ketua Komisi VII DPR KarÂdaya Warnika menilai, proses renegosiasi KK pertambangan minerba yang dilakukan pihak peÂmerintah selama ini telah melangÂgar hukum. "Dalam renegosiasi saran dari DPR jangan lakukan renegosiasi karena sudah melangÂgar hukum," katanya. ***