"Kita akan samakan dengan fasilitas perlindungan yang diberikan negara-negara lain terÂmasuk mengenakan kebijakan anti dumping," kata Rini.
Salah satu yang diberikan perÂlindungan anti dumping adalah Pelabuhan Batam yang memiÂliki industri galangan kapal yang selama ini banyak menyerap produk-produk besi dan baja.
Rini mengatakan, KS meruÂpakan industri dasar yang seÂharusnya mendapat dukungan agar terus berkembang serta melakukan efisiensi.
Direktur Utama KS Irvan K Hakim mengatakan, dalam pertemuan dengan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pihaknya telah meÂminta perlindungan terkait teÂkanan eksternal yakni jatuhnya harga baja dunia serta serbuan produk baja impor.
Menurut dia, sepanjang tahun 2011-2014 harga baja dunia terus mengalami penurunan disebabkan kelebihan pasokan baja dari China yang mencapai 51 juta ton pada 2014.
"Kondisi ini membuat harga baja dunia turun dari 705 dolar AS per ton menjadi 536 dolar AS per ton pada 2014," ujar Irvan.
Irvan mengaku, harga baja dunia pada kuartal I 2015 masih terus mengalami penuÂrunan rata-rata 442 dolar AS per dolar AS. Bersamaan denÂgan itu, produk baja impor juga membanjiri pasar di dalam negeri sebanyak 3,4 juta ton. Baja impor masuk pada 2009, kemudian meningkat menjadi 8,2 juta ton pada 2013 atau melonjak 2 kali lipat lebih.
Padahal kebutuhan baja doÂmestik pada 2013 hanya 12,7 juta ton. Baja impor sendiri meÂnyerap hampir 64,5 persen dari kebutuhan baja domestik.
Irvan mengatakan, serbuan baja impor dipicu pengenaan bea masuk baja impor yang relatif rendah dibanding negara lain karena pemerintah hanya mengenakan 5 persen saja.
Dia mencontohkan MaÂlaysia yang mengenakan bea masuk 20 persen ditambah 24,8 persen anti dumping. Kemudian, India dalam waktu dekat akan menaikkan tarif bea masuk dari 7,5 menjadi 15 persen, Thailand mengenakan bea masuk 5 persen ditambah bea masuk anti dumping dituÂjukan bagi 24 negara sampai dengan 33 persen.
Di sisi lain, Pemerintah ChiÂna juga memberikan insentif bagi industri baja nasionalnya dengan memberikan potongan pajak sebesar 9-13 persen yang membuat produk baja asal negeri itu membanjiri pasar dunia termasuk Indonesia.
Irvan mengeluh, turunnya harga baja dunia berpengaruh terhadap kinerja KS, meski volume penjualan mengalami kenaikan tetapi nilai penjualan tetap mengalami penurunan.
"Meski biaya produksi baja canai panas ((HRC) turun 68 dolar AS per ton sepanjang 2012-2014, ternyata masih lebih kecil dibanding turunnya harga jual sebesar 124 dolar AS per ton," papar Irvan.
Kendati demikian, KS telah mengambil langkah-langkah efisiensi menghadapi kondisi eksternal yang tidak mengunÂtungkan, di antaranya menekan beban tenaga kerja, optimalÂisasi pola operasi pabrik dan meningkatkan sinergi dengan Krakatau Posco. ***