Ceramah panjang SBY ini ditulisnya dalam akun twitter dan facebook miliknya pada dinihari tadi (Kamis, 18/12).
"Perihal tantangan yang tidak ringan terhadap ekonomi Indonesia, telah saya sampaikan setahun yang lalu, tepatnya Oktober 2013," buka SBY.
Sebagai Ketua APEC tahun 2013, ia pernah menyampaikan bahwa semua negara "emerging economies", termasuk Indonesia, akan menghadapi tantangan yang berat. Tantangan itu antara lain berupa pelambatan pertumbuhan, menurunnya nilai tukar, jatuhnya harga komoditas pertanian dan mineral.
"Bahkan saya sampaikan era dolar murah sudah usai. Saya perkirakan nilai tukar rupiah kita tahun 2014 tembus Rp 12.000 per 1 dolar AS," ungkap SBY mengingatkan.
SBY menegaskan tak pernah menjanjikan rupiah akan menguat bahkan di bawah Rp 10.000 per dolar AS. Hal itu karena ia tahu situasi ekonomi dunia. Ia jelaskan bahwa nilai tukar rupiah saat ini ditentukan oleh faktor "supply-demand", kebijakan moneter bank sentral AS dan juga spekulasi pasar.
Tekanan ekonomi ini ada yang sifatnya global akibat kebijakan Bank Sentral AS, turunnya pertumbuhan Tiongkok dan stagnasi ekonomi Eropa. Ada juga yang bersifat nasional, misalnya adanya defisit perdagangan dan anjloknya nilai ekspor kelapa sawit, batubara dan lainnya.
"Ekonomi kurang cerah di Tiongkok, Jepang dan Eropa bagaimanapun akan menurunkan peluang ekspor dan investasi di Indonesia. Itulah sebabnya selaku Presiden saya tetapkan pertumbuhan yang realistik sekitar 5-6 persen. Saya tahu situasi global, kawasan dan nasional," ungkapnya.
"Saya tidak memberikan 'angin surga', ekonomi kita akan tumbuh tinggi hingga 7 persen. Semua negara menurunkan angka pertumbuhannya," tegas SBY lagi, sembari mencontohkan pertumbuhan ekonomi Tiongkok hanya 7 persen dari biasanya 8-10 persen.
Pertumbuhan Tiongkok 7 persen itu berdampak negatif pada perdagangan dan investasi ke negara lain, termasuk Indonesia.
[ald]
BERITA TERKAIT: