Hal itu tertuang pada Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan KeÂsehaÂtan Hewan, yang merupakan reÂvisi dari UU Nomor 6 Tahun 1967. Dengan adanya aturan itu, pemerintah sulit meÂngendalikan maupun memÂbatasi impor GPS yang saat ini diangÂgap berleÂbihan.
“Sulit mengatur impor GPS ke dalam negeri karena regulasinya sudah liberal. Dengan bebas, apaÂpun yang berhubungan deÂngan sektor perunggasan bisa maÂsuk tanpa tekanan,†kata Ketua PerÂhimpunan Peternak Unggas InÂdonesia (PPUI) Ashwin PuluÂngÂan di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, produksi GPS suÂdah dirancang khusus di luar neÂgeri untuk masuk ke negara yang potensi pasarnya besar seÂperti InÂdonesia. Hal itu dinilai sudah menÂjadi rencana ekonomi liberal. Salah satunya penguasaan inÂdustri perunggasan nasional.
Meski demikian, kata Ashwin, pemerintah lebih baik memberÂlakukan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk impor GPS termaÂsuk bahan baku pakan dan pakan jadi. Hal ini dapat dijalankan deÂngan mengetahui secara transÂparan mengenai harga pokok GPS sehingga PPN tidak memÂberatkan konsumen.
“Selama ini para perusahaan besar penanam modal asing meÂngatakan jika PPN diberÂlakukan akan memberatkan konsumen. Padahal harga pokok mereka direkayasa mahal,†ungkapnya.
Direktur Pembibitan Ternak Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan KemenÂterian Pertanian (Kementan) Abu Bakar mengatakan, trend bisnis perunggasan diperkirakan semaÂkin membesar. Oleh karena itu, pihaknya tidak akan menghenÂtikan impor GPS yang bisa meÂmatikan usaha petani lokal.
“Jika impor GPS dihentikan, maka yang akan masuk daging ayamnya. Ini jadi bumerang buat kita juga kalau negara impor meÂngirim paha ayam ke Indonesia, seÂhingga usaha para peternak unggas bisa gulung tikar karena hasil ternaknya tak laku,†katanya. ***