Sekretaris Satuan Kerja KhuÂsus Pelaksana Kegiatan UsaÂha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Gde Pradnyana mengatakan, tantangan terbesar Pemerintahan Jokowi-JK adalah perÂsoalan energi. Dengan turunÂnya produksi minyak dan melonÂjaknya konsumsi BBM, menyeÂbabkan gap antara
supply and demand minyak akan makin lebar.
“Ini membuat subsidi BBM yang dibebankan ke APBN juga makin besar. Untuk mengatasi beban subsidi ini, solusi yang ditempuh pemerintah sebelumÂnya adalah menggenjot produksi dan menaikkan harga BBM. Tapi terbukti kebijakan itu tidak menyeÂlesaikan masalah,†kata Gde kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Dia menjelaskan, pada 2012 pemerintah sudah menaikkan harga BBM dari Rp 4.500 menÂjadi Rp 6.500, tapi ternyata beban subsidi tetap saja membengkak. KeÂmudian pemerintah juga sudah menaikkan tarif dasar listrik (TDL), tapi tetap saja subsidi lisÂtrik membengkak.
“Itu akan terus seperti itu selama akar masalahnya tidak ditangani, yaitu masalah konÂsumsi energi yang berkeadilan. Persoalan di hilir tidak bisa dicarikan solusinya di hulu,†jelas dia.
Gde mengatakan, saat ini lebih dari 90 persen BBM bersubsidi diÂserap sektor transportasi. Jadi masalah penyediaan transportasi yang murah menjadi kuncinya. SeÂlama ini masalah transportasi nyaÂris tanpa perlindungan dari peÂmerintah dan diserahkan ke swasta.
“Pola kebijakan liberal seperti itu tidak cocok dengan kita. Menurut saya pemerintah harus merealokasi subsidi dari subsidi barang (BBM) ke penyediaan transportasi murah dan mudah,†katanya.
Menurut dia, di Eropa dan China pemerintah mensubsidi transportasi umum besar-besaran. Sementara angkutan pribadi dibatasi dan konsumsi energi dikenakan
carbon-tax. “Ini yang saya maksud konÂsumsi energi yang berkeadilan. Ini kelihatannya sudah dipahami oleh {ak Jokowi,†ucapnya.
Hal tersebut, kata Gde, bisa dilihat saat Jokowi masih menÂjabat Gubernur DKI yang berkali-kali mengatakan bahwa pemÂbaÂngunÂan transportasi harus memÂfaÂsilitasi orang bukan memÂfaÂsilitasi mobil.
Gde optimistis dengan pemiÂkiran Jokowi ini dalam 5 tahun pemeÂrintahannya bisa menghaÂpus subsidi BBM.
Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Andy Noorsaman SomÂmeng mengusulkan PemerinÂtahan Jokowi-JK menaikkan tunÂjangan keluarga bagi keluarga miskin jika jadi mengerek harga BBM subsidi tahun ini.
Sommeng mengatakan, pihakÂnya mendukung rencana pemeÂrintah menaikkan harga BBM subsidi pada November. Namun, pemeritah harus menyiapkan tunÂjangan keluarga berupa uang yang diberikan untuk keluarga miskin.
“Bisa saja ada tunjangan keÂluarga, itu negara memberikan uang tunai dari subsidi yang habis dibakar,†ujarnya Jakarta, kemarin.
Menurut Sommeng, banyak negara lain yang memberikan tunjangan keluarga pada maÂsyaÂrakat miskin. Tunjangan keÂluarga itu dihitung berdasarkan jumlah anggota keluarga yang ada.
“Di luar negeri sudah seperti ini, bisa saja keluarga miskin daÂpat Rp 1 juta per bulan tergantung jumlah anggota keluarga,†saran dia.
Pihaknya juga tidak meraÂguÂkan data keluarga miskin InÂdoÂneÂsia karena sudah ada Badan Pusat Statistik (BPS).
“Kita harus hidupkan kembali peranan RT/RW dan kelurahan. Siapa yang miskin di keluraÂhannya harus didata,†katanya.
Selain itu, Sommeng mendoÂrong pemerintah segera membuat kartu penyaluran BBM subsidi. Ini untuk mengiringi impleÂmenÂtasi kenaikan harga BBM subsidi.
Kartu tersebut bisa dimanÂfaatÂkan pihak yang berhak mengÂguÂnakan BBM subsidi. Seperti transÂportasi umum, nelayan, orang miskin.
“Ini namanya sistem tertutup, agar penyaluran BBM subsidi seÂsuai target,†tegasnya. ***