Gawat, Tahun 2016 Krisis Listrik Hantui Pulau Jawa

Proyek Pembangunan Pembangkit Berskala Besar Banyak Molor

Kamis, 14 Agustus 2014, 10:08 WIB
Gawat, Tahun 2016 Krisis Listrik Hantui Pulau Jawa
ilustrasi
rmol news logo Krisis listrik di Pulau Jawa yang awalnya diprediksi terjadi pada 2018, kelihatannya bakal terjadi lebih cepat. Hal itu disebabkan masih banyak pembangkit listrik yang terkendala dan telat pembangunannya.

“Krisis listrik di Pulau Jawa itu sudah mulai terjadi 2016, bukan 2018, datang lebih cepat,” ujar Direktur Konstruksi dan Energi Terbarukan PT PLN (Persero) Nasri Sebayang, kemarin.

Menurutnya, selama ini banyak pihak yang terlalu fokus pada masalah di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang 2 x 1.000 megawatt (MW) di Jawa Tengah. Padahal, tidak hanya PLTU Batang.  “Kita itu kekurangan pasokan listrik mulai 2016 hingga 2018 mencapai 6.000 MW,” ungkapnya.

Nasri mengungkapkan, ada beberapa pembangkit berskala besar yang direncanakan masuk proyek 2016-2018 terkendala pembangunannya dan tentu tidak sesuai target.

“Ada lagi yang mengancam Jawa, yakni belum terbangunnya PLTU Indramayu kapasitas 1.000 MW,” ungkapnya.

Dia mengatakan, PLTU Indramayu saat ini sudah molor hingga dua tahun dan dapat dipastikan tidak akan menyumbang listrik pada 2016-2018. Nasri pun menyalahkan Bupati Indramayu atas molornya pembangunan itu.

“Itu karena belum dapat izin dari Bupati Indramayu. Saya tidak tahu alasan jelas Ibu Bupati Indramayu tidak kasih izin. Katanya karena ada masalah sosial, tapi kalau ini tidak ada gebrakan, masak kita biarkan krisis listrik di Jawa terjadi,” terangnya.

Selain di Indramayu, proyek pembangkit lain yang juga molor pembangunannya ada di Sumatera Selatan (Sumsel), yakni PLTU 8, 9 dan 10 dengan total 3.000 MW. “Proyek pembangunan pembangkit tersebut juga terlambat dari yang ditargetkan,” ujar Nasri.

Tidak hanya pembangkitnya saja, agar listrik yang diproduksi di PLTU yang ada di Sumsel tersebut bisa ditransfer ke Jawa, harus juga terbangun kabel transmisi bawah laut atau High Voltage Direct Current (HVDC).

“Itu juga belum selesai terbangun. Percuma kan pembangkitnya selesai terbangun tapi jaringan listriknya tidak ada,” ungkapnya lagi.

Proyek HVDC bernilai sekitar 2,13 miliar dolar AS itu, didanai Japan International Cooperation Agency (JICA). Dari total nilai investasi tersebut, 1,19 miliar dolar AS sudah disetujui pemerintah dengan tenor pinjaman selama 10 tahun, masa tenggang 10 tahun dan bunga 0,3 persen per tahun.

“Kabel HVDC tersebut nantinya akan menghubungkan Bangko Tengah, Sumatera Selatan, hingga Bogor,” ungkap Nasri.

Nasri mengatakan, saat ini PLN sedang berjuang mencari tambahan pembangkit listrik. Khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) di Gresik, Tanjung Priok, Muara Karang dan lainnya.

Direktur Utama PLN Nur Pamudji mengusulkan, agar krisis listrik tidak terjadi, maka PLTU Batang harus tetap dibangun. Caranya, dengan melakukan pemindahan lokasi.

Cara lain, kata Nur, adalah memanfaatkan tenaga gas. Saat ini pasokan gas tidak ada kendala. Pasalnya, sudah ada beberapa fasilitas gas seperti terminal gas terapung dan pipa di Indonesia.

Izin Lahan Jadi Masalah Klasik

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Susilo Siswoutomo mendesak PLN segera menyelesaikan sederet masalah krusial di sektor ketenagalistrikan nasional. Termasuk masalah perizinan lahan harus segera diselesaikan.

“Masalah lahan ini masalah klasik. Tapi mesti dipercepat kalau tidak mau terjadi krisis listrik. Kita minta kepada Dirjen Listrik dan PLN untuk sampaikan lagi ke pemerintah masalah yang dihadapi,” ucap Susilo.

Susilo menyatakan, kebutuhan listrik terus meningkat rata-rata 6 hingga 10 persen. Provinsi Jawa Timur merupakan daerah paling tinggi pertumbuhan kebutuhan listriknya mencapai 9 persen. Pembangkit yang dibangun juga disarankan menggunakan sumber energi baru dan terbarukan.

Direktur Indonesian Resources Studies (Iress) Marwan Batubara menilai, masalah kelistrikan yang terjadi sekarang disebabkan kentalnya kepentingan politik yang terjadi di DPR.

Menurut dia, krisis listrik bisa diatasi jika lembaga legislatif tidak terlalu mengaitkannya dengan kepentingan politik.

“DPR harus menjauhkan pertimbangan politik untuk mengatasi krisis listrik. Jika tidak, sektor kelistrikan Indonesia semakin parah,” ingat Marwan. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA