Kepala BKPM Mahendra Siregar mengatakan, pihaknya belum dapat memastikan rencana pembangunan
smelter milik perusahaan Amerika Serikat (AS) itu. Alasannya, pihaknya belum mendapatkan info spesifik soal
smelter.
“Kalau
smelter perusahaan tambang yang lain sudah jalan itu,†katanya, kemarin.
Bekas Wakil Menteri Keuangan itu mengatakan, pihaknya sudah mengeluarkan beberapa izin terkait ekspansi usaha dan usaha baru di sektor pertambangan.
Namun, dia belum dapat memastikan bahwa izin-izin yang sudah dikeluarkan tersebut juga termasuk izin milik Freeport.
“Saya tidak bisa pastikan apakah izin yang sudah ada itu termasuk yang milik Freeport atau bukan,†ujarnya.
Menurut dia, izin-izin investasi yang baru dikeluarkannya itu secara umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu izin investasi baru dan izin perluasan investasi yang sudah ada. Dia menegaskan, Freeport harus melaporkan kepada BKPM jika berencana membangun smelter.
Selain itu, BPKM juga memiliki wewenang terkait izin investasi baru atau juga peningkatan investasi. Karena itu, rencana pembangunan
smelter dapat dikategorikan sebagai peningkatan investasi.
Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik mengatakan, Freeport akan membangun
smelter jika kontraknya diperpanjang.
“Freeport inginnya kontrak mereka diperpanjang 20 tahun lagi artinya dari 2021 menjadi 2041, karena mereka diminta pemerintah untuk membangun smelter, dana yang dikeluarkan mencapai 2,3 miliar dolar AS atau Rp 23 triliun dan selesai pada 2017,†ungkap Wacik.
Jadi dengan selesainya pembangunan
smelter pada 2017 dan menelan biaya investasi 2,3 miliar dolar AS, Freeport tak lagi dibayangi berakhirnya kontrak pada 2021. Hal Itulah yang menjadi pertimbangan perusahaan itu.
Hal tersebut membuat pemerintah bingung. Soalnya berdasarkan undang-undang, pemerintah tidak mempunyai kewenangan untuk memperpanjang kontrak Freeport di Papua saat ini. Pengajuan perpanjangan kontrak hanya bisa diajukan minimal pada 2019 atau dua tahun sebelum kontraknya berakhir. ***