Kepala Humas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Elan Biantoro mengatakan, ada tiga jenis gas yaitu elpiji, LNG dan CNG (gas alam terkompresi). Ketiga jenis itu memiliki karakter yang berbeda.
Menurutnya, elpiji dan LNG sama-sama gas yang dicairkan untuk memudahkan pengangkutan jarak yang tidak terjangkau dengan pipa. “Meskipun sama-sama gas cair, komponen yang mendominasi keduanya berbeda,†katanya di Jakarta, kemarin.
Komponen elpiji, didominasi oleh propana dan butana. Jenis gas ini memiliki massa jenis yang lebih besar dari LNG. Gas jenis itu cocok untuk rumah tangga.
Elan mengatakan, elpiji diproduksi di beberapa lapangan migas. Kendati begitu, tidak semua gas yang keluar dari sumur bisa dijadikan elpiji karena tidak semua lapangan menghasilkan uap gas yang cukup banyak sehingga ekonomis untuk dimanfaatkan.
“Produksi elpiji Indonesia saat ini sekitar 1,4 juta metrik ton per tahun, sementara kebutuhan elpiji nasional sekitar 5 juta metrik ton per tahun. Inilah yang menyebabkan Indonesia masih harus mengimpor,†jelasnya.
Sedangkan LNG adalah gas yang didominasi oleh metana dan etana. Pengembangan dan pemanfaatan LNG memerlukan infrastruktur yang lebih kompleks.
Dari sisi hulu, pengembangan LNG tidak hanya memerlukan fasilitas produksi biasa, tetapi memerlukan kilang yang mampu mencairkan gas tersebut sampai suhu minus 150-200 C dan fasilitas pendingin serta tanki kriogenik. Karena itu, LNG membutuhkan investasi yang sangat besar.
Sementara di sisi hilir, pemanfaatan LNG memerlukan fasilitas untuk mengubah LNG menjadi gas kembali, yang disebut dengan LNG Regasification Terminal. Saat ini Indonesia baru memiliki satu fasilitas regasifikasi, yaitu yang dioperasikan PT Nusantara Regas di Teluk Jakarta. Selain fasilitas regasifikasi, pemanfaatan gas yang dihasilkan juga memerlukan jaringan pipa untuk sampai ke konsumen.
“Dengan kebutuhan akan temperatur yang sangat rendah seperti ini, jelas LNG tidak bisa diedarkan dalam bentuk tabung-tabung seperti elpiji,†ucap Elan.
Sementara produksi dan penyimpanan CNG lebih murah dibanding LNG. Hanya saja, CNG membutuhkan tempat penyimpanan lebih besar serta tekanan yang sangat tinggi, sehingga distribusinya tidak bisa untuk jarak yang terlalu jauh dari sumber gas. Saat ini, jenis itu sudah dipakai untuk busway dan bajaj di Jakarta.
Sekretaris SKK Migas Gde Pradnyana mengatakan, pemanfaatan gas alam untuk pasokan energi domestik terkendala infrastruktur. Lapangan-lapangan gas sering kali ditemukan di wilayah yang jauh dari sentra kebutuhan gas, sehingga perlu infrastruktur untuk memproduksi LNG dan untuk meregasifikasi dan menyalurkannya ke konsumen.
Dalam beberapa kasus, produsen gas, yaitu industri hulu migas sudah memberikan komitmen untuk memasok gas bagi transportasi. Namun, ini belum bisa terealisasikan karena infrastruktur tidak tersedia. Penyediaan infrastruktur itu di luar wewenang industri hulu migas. ***