Karena itu, kata dia, fungsi lembaga perantara seperti Badan Pelaksana Hulu Migas (BP Migas) yang tahun lalu dibubarkan, sesungguhnya dianggap masih perlu.
Menurutnya, jika pemerintah tak dilindungi lembaga perantara, maka berisiko dipailitkan.
“Masih segar dalam ingatan, kasus gugatan 30 juta dolar AS dari Churcill. Itu yang akan terjadi bila pemerintah berbisnis. Karena pemerintah ini tidak mungkin dipailitkan. Sebab kalau bisa, sama saja mempailitkan sebuah negara,†kata Gde dalam diskusi ketahanan energi pasca kenaikan BBM di Jakarta, kemarin.
Menurut Gde, ada beberapa perusahaan asing yang punya tendensi untuk menggugat pemerintah. Alias cari-cari kesalahan, khususnya di sektor tambang. Jika situasi itu marak di bidang hulu migas, masalah lebih rumit lantaran pelaksanaan sidang arbitrase harus dilakukan di mahkamah internasional.
Sementara untuk tambang, sesuai undang-undang cukup dilaksanakan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN).
“Sehingga kita harus all out membela negara supaya tidak langsung terpapar dari bisnis. Karena itu perlu ditaruh lembaga seperti BP Migas (Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi) sebagai buffer alias penyanggah,†kata calon kuat Kepala SKK Migas pengganti Rudi Rubiandini ini.
Menurutnya, saat ini ada beberapa acuan contoh bentuk lembaga yang bisa ditiru untuk mengembangkan SKK Migas ke depan. Beberapa bentuk yang mungkin dilakukan adalah meniru bentuk Bank Indonesia yang semi BUMN atau murni BUMN seperti Pertamina. Isu ini yang harus dibahas serius oleh DPR dalam membahas revisi UU Migas.
“Persoalannya bagaimana pemerintah membuat regulasi yang mengatur ini semua. Apakah perusahaan asing berkontrak dengan pemerintah, semi-BUMN, atau BUMN,†tandasnya.
Anggota Komisi VII DPR Bobby Rizaldi mengatakan, dalam persiapan pembahasan revisi UU Migas tahun depan, pihaknya mementingkan pendapatan negara dari sektor migas.
Dengan cadangan minyak nasional yang diperkirakan tinggal 12 tahun, DPR menilai, pendapatan dari sektor migas harus dijaga. Khususnya karena penerimaan negara dari sektor hulu sangat besar, jauh dibandingkan pertambangan.
“Bayangkan di sektor hulu ini, dengan tenaga kerja hanya 700 orang, yaitu dari SKK migas, bisa memberi Rp 150-200 triliun kepada APBN setelah dipotong untuk jatah perusahaan asing. Sementara batubara ada 2.000 perusahaan, tapi sumbangan ke APBN hanya Rp 12 triliun,†ujarnya.
Karena itu, bagi Bobby, DPR akan mengarahkan revisi UU Migas agar fungsi SKK Migas tetap kuat dalam menjamin penerimaan negara. Alasannya, anggaran pemerintah belum cukup kuat buat mengembangkan eksplorasi sendiri.
Direktur Indonesia Global Justice (IGJ) Riza Damanik menilai, wacana bisnis minyak dan gas (migas) di Tanah Air terlalu fokus pada faktor produksi dan mahalnya biaya eksplorasi. Akibatnya, pemerintah akhirnya tidak memihak kepentingan nasional. [Harian Rakyat Merdeka]