Salah satu indikasinya, banyak konflik bermunculan di antara para pemegang saham, dan kasus pelanggaran hukum yang menimpa emiten dan perusahaan publik. Kisruh yang terjadi pada BUMI-Bakrie dan sengketa berkepanjangan di PT Sumalindo Lestari Jaya adalah salah satu contohnya.
Demikian rangkuman diskusi bertajuk "Menyoal Transparansi dan Akuntabilitas Publik pada Perusahaan Publik" yang diadakan Lembaga Kajian Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat (LKEPM) di Hotel Ambara, Jakarta Selatan, Senin (17/12).
Berbeda dengan kasus BUMI Plc, yang melibatkan sengketa antar pemegang saham besar (Bakrie, Samin Tan dan Rothschild). Kasus PT Sumalindo Lestari Jaya adalah contoh perseteruan antara pemegang saham mayoritas (Sampoerna dan Sunarko) dengan pemegang saham minoritas (Deddy Hartawan Jamin). Dalam laporan tahunan Sumalindo pada 2012, mereka menguasai lebih dari 840 ribu hektar hutan alam dan 73 ribu hektar hutan tanaman industri (HTI).
Sumalindo menguasai lebih dari 30 persen pasar Indonesia. Bahkan di tingkat dunia, ia termasuk lima besar produsen kayu. Namun begitu, sudah lima tahun belakangan Sumalindo tak pernah membukukan keuntungan. Malahan harga saham perusahaan raksasa tersebut, yang pada 2007 senilai Rp 4.800, pada 2012 terjun bebas di kisaran Rp 100.
Karena berbagai langkah untuk mencari kejelasan selalu kandas, Deddy Hartawan Jamin, selaku Pemegang Saham Minoritas pun mengajukan permohonan untuk mengecek pembukuan rugi-laba perusahaan. Deddy sejatinya memiliki hak untuk melakukan pemeriksaan terhadap kinerja dan pembukuan perusahaan.
Kenyataan bahwa selalu kalah dalam voting, Deddy pun mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ada dua hal yang dituntutnya, yakni audit terhadap pembukuan perusahaan dan bidang industri kehutanan. Hasilnya, pada 9 Mei 2011 majelis hakim PN Jakarta Selatan mengabulkan permohonan tersebut.
Atas putusan pengadilan negeri itu pun, pihak manajemen Sumalindo mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Namun pada 12 September 2012, Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan Sumalindo. Namun, hingga kini keputusan dari MA tersebut, belum diketik dan akses terhadap pembukuan itu belum juga diberikan.
Konflik dan perseteruan antar pemegang saham bisa juga diartikan sebagai lemahnya sistem hukum yang mengatur tentang emiten dan perusahaan publik tersebut.
Menyikapi kasus-kasus di atas, Dosen Ekonomi Universitas Indonesia, Ratna Wardhani, menegaskan, perusahaan sudah seharusnya menyajikan informasi transparan yang mudah diakses. Kebijakan perusahaan seharusnya tertulis dan dibagikan kepada pihak-pihak berkepentingan.
"Karena tidak transparan, akhirnya ada jarak antara pihak yang punya akses informasi kuat dengan pihak yang akses informasinya lemah," ucapnya.
Menurutnya, aturan penanaman modal di Indonesia sudah lebih baik dari negara tetangga seperti Thailand dan Filipina. Namun, selalu ada masalah di pelaksanaan.
"Harus ada komisaris independen atau komite audit. Itu yang belum ada dan akan jadi PR ke depan," tambahnya.
Dari data yang dimilikinya, per Agustus lalu sudah ada 165 kasus di dunia penanaman modal dari 400 perusahaan yang
go public, yang ditangani Bapepam.
[ald]