Berita

Ilustrasi. (Foto: Dokumentasi RMOL)

Bisnis

Pemerintah Perlu Reformasi Sistem Perpajakan Berdasar Fatwa MUI

MINGGU, 30 NOVEMBER 2025 | 00:59 WIB | LAPORAN: ADITYO NUGROHO

Ekonom Pusat Kajian Keuangan, Ekonomi dan Pembangunan Universitas Binawan, Farouk Abdullah Alwyni menyambut baik fatwa MUI tentang pajak berkeadilan. 

Menurutnya, fatwa yang dibacakan pada Musyawarah Nasional MUI 20-23 November 2025 sangat relevan dengan kebutuhan masyarakat saat ini. Karena itu Pemerintah perlu mempertimbangkan isi fatwa itu sebagai masukan positif dalam mereformasi sistem perpajakan nasional. 

Farouk berpendapat sekarang ini merupakan saat yang tepat bagi Pemerintah untuk menata ulang aturan sektor perpajakan. Aturan pajak ke depan harus berlandaskan prinsip keadilan untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa. Pajak harus menjadi instrumen strategis dalam menciptakan pemerataan ekonomi dan kesejahteraan. 


“Esensi pajak berkeadilan adalah tidak memberatkan masyarakat banyak. Pajak yang berkeadilan adalah pajak yang dipungut oleh negara tanpa memberikan beban berlebihan kepada masyarakat luas. Pemungutan pajak tidak boleh menyebabkan tekanan ekonomi yang melemahkan kesejahteraan rakyat,” jelas Farouk dalam keterangan yang diterima redaksi di Jakarta, Sabtu, 29 November 2025. 

Dengan pertimbangan tersebut Farouk menyatakan mendukung Fatwa MUI terkait pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) rumah pertama dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) pertama. Alasannya tempat tinggal dan kendaraan penunjang kerja adalah kebutuhan pokok. 

Dalam konsep zakat pun rumah yang dihuni tidak termasuk objek zakat. Kebijakan serupa patut diterapkan untuk kendaraan pertama, mengingat fungsinya sebagai kebutuhan dasar mobilitas masyarakat.

Farouk menambahkan pajak sejatinya merupakan sarana pemerataan ekonomi (distributive justice). sehingga, pajak harus dipungut terutama dari mereka yang sangat berkecukupan untuk kemudian dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat luas, khususnya kelompok yang paling membutuhkan. 

Sedangkan hasil pajak harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan publik. Penggunaan dana pajak wajib diarahkan sepenuhnya untuk kemaslahatan orang banyak yaitu dalam bentuk pembangunan fasilitas publik, peningkatan layanan sosial, dan penguatan kesejahteraan. Penyimpangan penggunaan pajak dari tujuan ini bertentangan dengan prinsip dasar keadilan fiskal.

“Pajak tidak boleh memberatkan karena berpotensi melemahkan perekonomian nasional. Pajak yang terlalu tinggi atau memberatkan masyarakat dapat menurunkan daya beli. Turunnya daya beli akan menekan permintaan dan pada akhirnya menyebabkan menurunnya investasi serta potensi meningkatnya pengangguran. Karena itu, kebijakan pajak harus mempertimbangkan dampaknya secara luas terhadap stabilitas dan pertumbuhan ekonomi,” terang mantan Direksi Bank Muamalat Indonesia ini.

Sebagai negara berlandaskan Pancasila, Indonesia perlu membuat rumusan sistem perpajakan yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Hal tersebut harus tercermin dalam jenis dan besaran tarif pajak yang berlaku serta pemanfaatannya. 

Ia menegaskan bahwa pajak tidak boleh digunakan untuk memfasilitasi kemewahan aparatur negara. Uang pajak rakyat harus dikembalikan lagi untuk kepentingan rakyat. Dengan cara seperti itu maka pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan dapat terwujud.

“Ibn Khaldun menegaskan bahwa pajak yang tinggi justru dapat menggerus pendapatan negara dan mengancam keberlangsungan sebuah peradaban, sedangkan pajak yang moderat/rendah dapat memperkuat perekonomian dan meningkatkan penerimaan negara,” ucap mantan pejabat Islamic Development Bank, Jeddah, Saudi Arabia ini. 

Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan pernah mengadopsi prinsip ini dalam upaya menstimulasi ekonomi Amerika Serikat. 

“Hendaknya pemerintah Indonesia juga memperhatikan pendekatan rasional dan historis ini dalam merumuskan kebijakan perpajakan nasional,” tandas Alumnus Program MBA in International Banking & Finance, Birmingham University, UK dan Program MA in Economics, New York University, USA.


Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Aliran Bantuan ke Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08

Korban Bencana di Jabar Lebih Butuh Perhatian Dedi Mulyadi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

UPDATE

Kapolda Metro Buka UKW: Lawan Hoaks, Jaga Jakarta

Selasa, 16 Desember 2025 | 22:11

Aktivis 98 Gandeng PB IDI Salurkan Donasi untuk Korban Banjir Sumatera

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:53

BPK Bongkar Pemborosan Rp12,59 Triliun di Pupuk Indonesia, Penegak Hukum Diminta Usut

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:51

Legislator PDIP: Cerita Revolusi Tidak Hanya Tentang Peluru dan Mesiu

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:40

Mobil Mitra SPPG Kini Hanya Boleh Sampai Luar Pagar Sekolah

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:22

Jangan Jadikan Bencana Alam Ajang Rivalitas dan Bullying Politik

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:19

Prabowo Janji Tuntaskan Trans Papua hingga Hadirkan 2.500 SPPG

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:54

Trio RRT Harus Berani Masuk Penjara sebagai Risiko Perjuangan

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:54

Yaqut Cholil Qoumas Bungkam Usai 8,5 Jam Dicecar KPK

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:47

Prabowo Prediksi Indonesia Duduki Ekonomi ke-4 Dunia dalam 15 Tahun

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:45

Selengkapnya