Berita

Ilustrasi. (Foto: umsu.ac.id)

Publika

Likuiditas yang Tak Cukup Menggerakkan Ekonomi

OLEH: AZA EL MUNADIYAN S.Si MM*
SELASA, 16 SEPTEMBER 2025 | 03:20 WIB

DISKUSI tentang strategi pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali menguat setelah Menteri Keuangan tiga periode Sri Mulyani Indrawati digantikan oleh orang dibalik layar Purbaya Yudhi Sadewa. Pendekatan kedua menteri ini berbeda, Sri Mulyani cenderung Keynesian moderat versus Purbaya yang lebih dekat pada semangat monetarisme Friedman. 

Sri Mulyani menekankan pentingnya fiskal sebagai jangkar stabilisasi. Belanja negara menurut SMI, tidak boleh dikerdilkan. Defisit APBN perlu dikelola dengan disiplin, tetapi stimulus tetap harus hadir agar permintaan agregat tidak jatuh. Sebaliknya, Purbaya melihat ruang fiskal terlalu sempit dan lambat. 

Baginya, uang pemerintah Rp200 triliun yang mengendap di Bank Indonesia lebih baik segera masuk ke perbankan untuk menggerakkan kredit. Ia meyakini mekanisme pasar dapat bekerja lebih efisien bila likuiditas mengalir cepat. Perbedaan paradigma ini mencerminkan perdebatan klasik antara peran negara vs peran pasar. 


Namun, konteks Indonesia menghadirkan dilema unik yaitu ruang fiskal terbatas akibat rasio pajak yang rendah, sementara pasar keuangan kita cenderung oligopolistik sehingga tambahan likuiditas tak selalu menetes ke sektor riil.

Perekonomian Indonesia selama ini menurut Purbaya ditekan oleh terbatasnya dorongan likuiditas. Data terbaru Bank Indonesia mencatat, jumlah uang beredar dalam arti sempit (M0) hanya tumbuh 0,34 persen (year on year) pada Agustus 2025, berada di kisaran Rp1.577 triliun. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan periode krisis 2008 maupun pandemi 2020, ketika injeksi likuiditas melonjak dua digit. 

Namun, di balik pertumbuhan M0 yang nyaris stagnan, perbankan masih mencatatkan pertumbuhan kredit dan dana pihak ketiga sekitar tujuh persen. Artinya, transmisi moneter tetap berjalan, meski dengan intensitas terbatas. Bank tetap menyalurkan pembiayaan, tetapi ruang ekspansi mereka dibatasi oleh likuiditas primer yang minim. Purbaya berkeyakinan bahwa dorongan likuiditas yang kuat mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di beberapa krisis yang dihadapi Indonesia. 

Kunci sukses gelontoran likuiditas mampu mendorong pertumbuhan ekonomi adalah transmisinya benar-benar mengalir ke sektor produktif. Injeksi likuiditas akan kehilangan daya dorong jika perbankan menahan dana dalam bentuk simpanan atau investasi jangka pendek. Efek kebijakan moneter terhadap kredit di Indonesia sangat bergantung pada distribusi sektoral melalui UMKM dan industri pengolahan yang sering kali masih kekurangan akses. 

Dengan kata lain, masalah kita bukan sekadar jumlah uang beredar, melainkan kualitas transmisi dari likuiditas ke kredit produktif. Tambahan likuiditas yang berhenti di neraca bank sama sekali tidak akan menggerakkan roda ekonomi. Tanpa arah kebijakan yang jelas, likuiditas bisa menjadi “air yang menggenang”, bukan “air yang mengalir”. 

Injeksi likuiditas bisa mempercepat pemulihan UMKM bila disertai kebijakan penyaluran kredit yang ketat jika terlalu longgar berpotensi menciptakan gelembung aset dan menambah rasio kredit bermasalah (NPL). Potensi sekaligus ancaman ini patut menjadi perhatian dan rem pengingat bahwa ekonomi kita tidak hidup dalam laboratorium teori yang seperti paparan Purbaya, namun ekonomi Indonesia merupakan pasar yang rentan pada gejolak dengan keterbatasan fiskal dan kelemahan industri domestik untuk menggerakan ekonomi. 

Indonesia memerlukan lebih dari sekadar likuiditas dalam angka, melainkan likuiditas produktif yang menetes sampai ke lapisan bawah dan benar-benar mendorong pertumbuhan berkelanjutan. Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan salah satu jalur. 

Diperlukan jalan tengah yang mengombinasikan disiplin fiskal ala Sri Mulyani dengan fleksibilitas moneter ala Purbaya lebih masuk akal. Fiskal harus menjaga permintaan dan stabilitas sosial, sementara moneter memastikan likuiditas tersalurkan ke sektor produktif, bukan sekadar ke pasar finansial.

*Penulis adalah Dosen STIM Budi Bakti

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

UPDATE

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Pramono Putus Rantai Kemiskinan Lewat Pemutihan Ijazah

Senin, 22 Desember 2025 | 17:44

Jangan Dibenturkan, Mendes Yandri: BUM Desa dan Kopdes Harus Saling Membesarkan

Senin, 22 Desember 2025 | 17:42

ASPEK Datangi Satgas PKH Kejagung, Teriakkan Ancaman Bencana di Kepri

Senin, 22 Desember 2025 | 17:38

Menlu Sugiono Hadiri Pertemuan Khusus ASEAN Bahas Konflik Thailand-Kamboja

Senin, 22 Desember 2025 | 17:26

Sejak Lama PKB Usul Pilkada Dipilih DPRD

Senin, 22 Desember 2025 | 17:24

Ketua KPK: Memberantas Korupsi Tidak Pernah Mudah

Senin, 22 Desember 2025 | 17:10

Ekspansi Pemukiman Israel Meluas di Tepi Barat

Senin, 22 Desember 2025 | 17:09

Menkop Dorong Koperasi Peternak Pangalengan Berbasis Teknologi Terintegrasi

Senin, 22 Desember 2025 | 17:02

PKS Kaji Usulan Pilkada Dipilih DPRD

Senin, 22 Desember 2025 | 17:02

Selengkapnya