Berita

Ilustrasi/AI

Publika

Bangun, Indonesiaku, Sebelum Jadi Fosil Sejarah

RABU, 09 APRIL 2025 | 06:00 WIB | OLEH: AHMADIE THAHA

PADA suatu masa, Indonesia merasa dirinya besar. Sangat besar, sampai-sampai tahun 1962 kita menantang dunia dengan gaya dramatis: mengundang Tiongkok ke Asian Games Jakarta, meski Komite Olimpiade Internasional sudah pasang wajah masam.

Konsekuensinya, dunia mengusir Indonesia dari Olimpiade Tokyo 1964. Alasannya politis: mereka menuduh Indonesia mendukung komunisme. Tapi tidak apa-apa, kata Bung Karno, sambil membusungkan dada --solidaritas itu lebih penting dari medali emas.

Pada masa itu, kita masih “menolong” Tiongkok yang papa dan dekil. Pendapatan per kapita kita lebih tinggi. Kita lebih keren, lebih makmur, lebih… ya, lebih banyak alasan untuk merasa bangga. Bahkan hingga 1997, Indonesia masih bangga berkata, “Kami lebih baik dari China.”


Sayangnya, dunia terus berlari, dan Indonesia malah sibuk memperbaiki dasi sambil merapikan rambut yang mulai rontok, masih berkutat mengatasi urusan perut, gizi yang buruk, serta tambang dan pertanian yang terus dikorupsi. Sementara itu, kini Tiongkok telah terbang tinggi.

Bangsa bermata sipit itu tidak cuma membangun gedung pencakar langit dan kereta super cepat; mereka bahkan sedang berkemas untuk mendirikan kantor cabang di Bulan. Sementara kita? Masih sibuk debat apakah TikTok itu ancaman nasional atau sekadar hiburan.

Ada yang mencoba mencari kambing hitam: katanya, Cina sukses karena menghukum mati koruptor. Padahal, kalau kunci kemajuan itu semudah menggantung orang di alun-alun, mungkin dunia sudah penuh tiang gantungan, bukan gedung pencakar langit.

Lalu ada yang berbisik penuh teori, bahwa orang Cina itu hemat, pekerja keras, dan sedikit licik. Mungkin ada benarnya. Tapi seperti kata Prof. Elwin Tobing yang mengajar orang-orang Cina dan pemuda-pemuda kita di California University, AS, semua itu bukanlah inti persoalan.

Masalahnya sederhana dan menyakitkan: mereka menghargai ilmu, sementara kita lebih sibuk menghargai gelar dengan cara menipu diri. Mereka haus pengetahuan, sementara kita haus jabatan. Mereka disiplin belajar, sementara kita merasa cukup dengan pura-pura tahu.

Tiongkok tahu diri mereka tertinggal, maka mereka mengirimkan ratusan ribu mahasiswa terbaik ke seluruh dunia, terutama ke Amerika Serikat. Elwin Tobing mencatat, pada 2019, ada 370.000 mahasiswa Cina di AS — hampir 35% dari seluruh mahasiswa internasional.

Jumlah itu melonjak sepuluh kali lipat dibanding tahun 1990. Sedangkan Indonesia? Kita hanya mengirim 8.300 orang, lebih sedikit dari jumlah yang kita kirim tiga dekade lalu. Mungkin kita mengira cukup belajar lewat YouTube dan seminar motivasi.

Lalu apa hasilnya dari kerja keras belajar itu? Para lulusan pulang ke Cina dan ditugasi memperbaiki negeri. Ekonomi Tiongkok pun meledak. Produk domestik bruto mereka kini lebih dari 18 triliun dolar AS, menjadikan mereka ekonomi terbesar kedua dunia.

Kini mereka tak hanya mengekspor mainan dan baju murah, tapi juga teknologi tinggi: mobil listrik BYD yang mengancam Tesla, pabrik semikonduktor SMIC yang bersaing dengan raksasa dunia, fesyen Shein yang menaklukkan pasar global, hingga kecerdasan buatan Baidu, Alibaba dan SenseTime yang kini memimpin inovasi AI.

Sementara itu, di Tanah Air, kita masih sibuk bangga membuat motor listrik yang harganya lebih mahal dari motor biasa, sambil tetap berdebat apakah wajar lulusan S3 harus tahu caranya mengisi formulir online. Kita dipermalukan oleh sidang berlarut-larut soal ijazah palsu mantan pemimpin tertinggi negeri ini.

Ironisnya pula, semua ini terjadi bukan karena kita bodoh, malas, atau kurang berbakat. Justru karena kita terlalu cepat puas, terlalu rajin berfoto, dan terlalu malas bertanya. Kita lebih suka merayakan capaian kecil dengan pesta pora, alih-alih mengejar ilmu dengan lapar dan haus seperti mereka.

Tapi tidak semua harapan pupus. Prof. Elwin Tobing bersiap mengirimkan “wake-up call” lewat bukunya, “Agenda Indonesia”, yang akan terbit Juni 2025. Sebuah peta jalan agar bangsa ini berhenti bermimpi sambil tiduran, dan mulai berlari dengan akal sehat, bukan sekadar semangat sesaat.

Karena kalau tidak, jangan salahkan sejarah bila nanti kita hanya jadi catatan kaki: “Indonesia, negara yang dulu hampir jadi besar.”

*Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al-Qur'an



Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Terlibat TPPU, Gus Yazid Ditangkap dan Ditahan Kejati Jawa Tengah

Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13

UPDATE

Kepala Daerah Dipilih DPRD Bikin Lemah Legitimasi Kepemimpinan

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59

Jalan Terjal Distribusi BBM

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39

Usulan Tanam Sawit Skala Besar di Papua Abaikan Hak Masyarakat Adat

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16

Peraih Adhyaksa Award 2025 Didapuk jadi Kajari Tanah Datar

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55

Pengesahan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim Sangat Mendesak

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36

Konser Jazz Natal Dibatalkan Gegara Pemasangan Nama Trump

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16

ALFI Sulselbar Protes Penerbitan KBLI 2025 yang Sulitkan Pengusaha JPT

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58

Pengendali Pertahanan Laut di Tarakan Kini Diemban Peraih Adhi Makayasa

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32

Teknologi Arsinum BRIN Bantu Kebutuhan Air Bersih Korban Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15

35 Kajari Dimutasi, 17 Kajari hanya Pindah Wilayah

Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52

Selengkapnya