Berita

Ilustrasi/Net

Publika

RUU Kesehatan, Demi Kepentingan Publik (?)

SELASA, 27 JUNI 2023 | 08:23 WIB | OLEH: YUDHI HERTANTO

DITERUSKAN! Pembahasan mengenai RUU Kesehatan seolah tidak tertahankan, prosesnya segera dilanjutkan. Meski masih banyak pertanyaaan terkait esensi kepentingannya bagi publik.

Pada beberapa kesempatan, sejumlah pihak yang mengusulkan, dan memberi dukungan bagi pengesahan RUU Kesehatan, membicarakan tentang proporsi dominan kebutuhan publik yang termuat dalam rancangan mega aturan itu.

Menurut kalangan ini, uraian yang dianggap perlu diperbaiki tidak lebih dari 25% dari keseluruhan, jumlah tersebut terbilang minor.


Dengan begitu, sebagai sebuah draf usulan yang akan mengalami penajaman, keberadaan RUU Kesehatan telah dianggap representatif mewakili kehendak publik.

Menariknya, interaksi percakapan atas penolakan RUU Kesehatan, tidak hanya disuarakan oleh organisasi profesi kesehatan, tetapi juga mendapatkan banyak kritik dari kelompok masyarakat sipil.

Bukan saja mengenai prosesnya yang terbilang cepat, serta ditengarai minim partisipasi dari para pemangku kepentingan terkait, tetapi juga sekaligus mengandung potensi permasalahan turunan.

Karena itu, dorongan yang diajukan dalam menyikapi proses RUU Kesehatan adalah menghentikan pembahasan, dan melakukan review ulang.

Skema tersebut akan memutar kembali seluruh fase pembentukan peraturan. Tentu saja, kali ini dengan syarat menyusun peta permasalahan, serta menentukan arah tujuan yang hendak dicapai melalui keberadaan sinkronisasi regulasi di sektor kesehatan, menggunakan metode omnibus law.

Titik Temu

Kedua belah pihak yang tengah berdialog dalam ruang konflik RUU Kesehatan sesungguhnya memiliki diksi pemaknaan kepentingan yang serupa.

Pertama: terdapat kesadaran mengenai perlunya pembenahan sistem kesehatan nasional yang diharapkan meningkatkan ketahanan nasional.

Kedua: bahwa pengaturan di bidang kesehatan, merupakan terjemahan dari kebutuhan untuk semakin memberikan akses yang luas bagi publik, guna mendapatkan pelayanan kesehatan.

Setidaknya dalam dua hal krusial tersebut, para pihak telah membangun landasan kesepahaman. Problemnya adalah, terdapat sudut pandang yang masih berlawanan.

Di sini letak penting pembentukan resolusi bersama dengan komitmen bahwa, (i) semua pihak terlibat harus berada dalam relasi yang seimbang dan setara, (ii) menciptakan kerangka saling menguntungkan, mengakomodasi seluruh kepentingan.

Agenda Publik

Perlu penjelasan yang rinci, dalam menerangkan persoalan kepentingan publik. Pihak mana yang disebut sebagai publik? Serta siapa yang hendak diajukan sebagai indikator utama dalam tujuan penyusunan peraturan.

Kesehatan memang barang publik, dan untuk itu bersifat komprehensif. Dalam hal tersebut publik jelas meliputi, (i) penerima layanan kesehatan, dan (ii) pemberi pelayanan. Karenanya, kedua sisi perlu didengarkan.

Bila organisasi profesi kesehatan sebagai dari pemberi layanan tidak merasa dilibatkan, serta kelompok masyarakat sipil menyebut minim partisipasi dengan berbagai catatan, sudah barang tentu perlu pengkajian ulang, apakah memang rancangan perangkat aturan ini menjawab kebutuhan publik.

Kita tentu berharap tidak ada agenda lain yang ditumpangkan bersama pembentukan regulasi baru, meski hal itu bisa sangat mungkin terjadi, bila diindikasikan melalui, (i) kilatnya waktu pembahasan (ii) minimnya keterlibatan para pihak terkait, dan (iii) penyederhanaan atas kompleksitas persoalan. Semoga tidak demikian.

Lantas seperti apa konstruksi RUU Kesehatan yang mampu dipersetujui semua pihak? Jika mengakomodasi, (i) peningkatan kuantitas dan kualitas akses kesehatan publik, (ii) membentuk sistem kesehatan nasional, ditopang dengan politik anggaran yang memadai, 10% mandatory spending, (iii) memenuhi mekanisme perlindungan hukum bagi pemberi pelayanan, baik tenaga maupun institusi medis, (iv) terdapat ruang tumbuh bagi profesi kesehatan melalui kelembagaan organisasinya.

Tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin. RUU Kesehatan yang menjadi “milik bersama” hanya akan menjadi sebuah realitas manakala isu-isu kesehatan tidak ditempatkan sebagai agenda sekunder.

Sesuatu yang sangat mungkin tenggelam di antara hingar-bingar kepentingan kontestasi politik nasional. Untuk itu, rasanya kita masih harus terus berharap.

*Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Puan Harap Korban Banjir Sumatera Peroleh Penanganan Baik

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:10

Bantuan Kemensos Telah Terdistribusikan ke Wilayah Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:00

Prabowo Bantah Rambo Podium

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:59

Pansus Illegal Logging Dibahas Usai Penanganan Bencana Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:39

BNN Kirim 2.000 Paket Sembako ke Korban Banjir Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:18

Bahlil Sebut Golkar Bakal Dukung Prabowo di 2029

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:03

Banjir Sumatera jadi Alarm Keras Rawannya Kondisi Ekologis

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:56

UEA Berpeluang Ikuti Langkah Indonesia Kirim Pasukan ke Gaza

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:47

Media Diajak Kawal Transformasi DPR Lewat Berita Berimbang

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:18

AMAN Raih Dua Penghargaan di Ajang FIABCI Award 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:15

Selengkapnya