Berita

Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies), Anthony Budiawan/RMOL

Nusantara

Korupsi dan Pencucian Uang Tidak Terkendali, Indonesia Terkucil dan Terkunci: Jokowi dan DPR Panik?

OLEH: ANTHONY BUDIAWAN*
MINGGU, 16 APRIL 2023 | 19:57 WIB

INDONESIA menandatangani konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan Korupsi pada 2003, dan meratifikasi melalui UU  7/2006.

Tetapi, undang-undang untuk mendukung konvensi PBB melawan korupsi tersebut tidak kunjung selesai. Artinya, Indonesia dianggap tidak serius melawan korupsi, dan tindak pidana lainnya, seperti kejahatan lingkungan, judi ilegal, pertambangan ilegal, perdagangan manusia, dan banyak lainnya.

Untuk mendukung konvensi PPB melawan korupsi dan kejahatan keuangan lainnya, diperlukan UU Anti Korupsi, UU Anti Pencucian Uang, dan khususnya UU Perampasan Aset.


Indonesia memang sudah ada UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Tetapi, kedua UU tersebut tidak cukup untuk mengungkap hasil korupsi dan pencucian uang internasional yang masuk ke Indonesia.

Artinya, UU Indonesia tidak mampu menyita aset hasil kejahatan internasional. Jangankan internasional, menyita aset koruptor atau kejahatan keuangan asal dalam negeri saja susah.
Bukannya memperkuat konvensi PBB dalam melawan korupsi dan pencucian uang internasional, Sri Mulyani dan Jokowi malah menyediakan fasilitas Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty 2016/2017 dan 2022, yang intinya sama dengan pencucian uang secara legal, difasilitasi pemerintah.

Fasilitas “pencucian uang” ini sangat cepat disetujui DPR, dan disahkan menjadi UU Pengampunan Pajak. Tentu saja, seperti disampaikan Bambang Pacul dari PDIP, persetujuan DPR pasti sudah mendapat restu dari para Ketua Umum Partai Politik. Sebaliknya, UU Perampasan Aset terbengkalai sejak 2006.

Sejak 2009, laporan PPATK terkait dugaan pencucian uang di kementerian keuangan juga tidak ada tindak lanjut. Semua pihak mencari alasan pembenaran.

Intinya, Jokowi, Sri Mulyani, DPR bersama Ketum parpol, sudah melakukan tindakan yang berlawanan dengan konvensi PBB melawan korupsi.

Uang judi ilegal Rp 155 triliun terkuak, tetapi tidak digubris. Tambang ilegal terbongkar, juga tidak digubris. Tiba-tiba meledak dugaan pencucian uang yang melibatkan pegawai Kementerian Keuangan senilai Rp 349 triliun.

Sri Mulyani tertekan. Jokowi juga tertekan. Indonesia dikucilkan. Keuangan untuk Indonesia terkunci.

Program insentif mobil listrik Amerika Serikat tidak termasuk yang menggunakan komponen batere Indonesia.

Dana untuk transformasi energi Indonesia senilai 20 miliar dolar AS juga tidak turun.

Luhut tergopoh-gopoh terbang ke AS. Untuk apa? Semua usaha Luhut dan pemerintah Indonesia akan sia-sia, selama Indonesia dianggap tidak serius melawan korupsi dan pencucian uang, sesuai konvensi PBB Melawan Korupsi.

Ada dua hal kritikal bagi Indonesia agar tidak dikucilkan. Pertama menjadi anggota penuh FATF (Financial Action Task Force) untuk memberantas pencucian uang internasional, termasuk hasil korupsi.

Apalagi Indonesia selama ini dianggap surga pencucian uang. Karena hukum bisa dikondisikan, tergantung uang. Seperti Henri Surya, pemilik Indosurya, bisa bebas setelah menipu Rp106 triliun. Meskipun sekarang di tangkap lagi. Tapi bagaimana dengan asetnya? Apakah bisa dirampas dan dikembalikan kepada korbannya?

Untuk itu, UU Perampasan Aset menjadi kunci utama untuk menyelamatkan korban korupsi dan tindak pidana pencucian uang, baik korban perorangan maupun negara. Dan UU Perampasan Aset juga menjadi kunci untuk bisa menjadi anggota penuh FATF.

Indonesia satu-satunya negara G20 yang belum menjadi anggota FATF. Betapa memalukan.

Tidak heran Mahfud panik. Draf RUU Perampasan Aset dikebut. Segera dikirim ke DPR, semua lembaga dan kementerian sudah setuju, kata Mahfud.
Selain itu, Indonesia juga mengajukan diri secara sukarela untuk menjadi anggota FATF. Targetnya Juni ini sudah bisa menjadi anggota FATF. Kalau tidak, sumber keuangan akan terkunci, dan terkucilkan. Terlihat jelas, betapa paniknya Jokowi.

DPR juga dalam tekanan, termasuk Ketum Parpol. UU Perampasan Aset harus selesai Juni, menjelang evaluasi menjadi anggota FATF. Luar biasa. Ekspres.

Indonesia masuk babak baru. Uang pejabat dan para pengusaha Indonesia yang disimpan di luar negeri dari hasil ilegal, segera terlacak oleh FATF dan Interpol.

Rakyat mendukung penuh, RUU Perampasan Aset harus segera disahkan menjadi UU. Untuk menyelamatkan Indonesia dari para predator koruptor.


*Penulis adalah Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Puan Harap Korban Banjir Sumatera Peroleh Penanganan Baik

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:10

Bantuan Kemensos Telah Terdistribusikan ke Wilayah Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:00

Prabowo Bantah Rambo Podium

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:59

Pansus Illegal Logging Dibahas Usai Penanganan Bencana Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:39

BNN Kirim 2.000 Paket Sembako ke Korban Banjir Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:18

Bahlil Sebut Golkar Bakal Dukung Prabowo di 2029

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:03

Banjir Sumatera jadi Alarm Keras Rawannya Kondisi Ekologis

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:56

UEA Berpeluang Ikuti Langkah Indonesia Kirim Pasukan ke Gaza

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:47

Media Diajak Kawal Transformasi DPR Lewat Berita Berimbang

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:18

AMAN Raih Dua Penghargaan di Ajang FIABCI Award 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:15

Selengkapnya