Lektor Kepala Universitas Nasional, Jakarta, Prof. I Made Adnyana/Net
Pandemik virus corona baru atau Covid-19 yang mengguncang hampir seluruh dunia telah membuka peluang bagi sektor industri Indonesia untuk meningkatkan daya saing, dan menjadi bagian dari dalam rantai pasok industri global.
Demikian benang merah webinar dengan tema "Mengukur Dampak Stimulus Ekonomi Terhadap Kegiatan Ekspor dan Impor di Masa Pandemik Covid-19", yang diselenggarakan atas kerjasama Pusat Kajian Sosial Politik Universitas Nasional (PKSP) Jakarta dengan Center for Information and Development Studies (CIDES), di sebuah hotel Jakarta Selatan, Kamis (3/9).
Webinar ini menampilkan narasumber Lektor Kepala Universitas Nasional, Jakarta, Prof. I Made Adnyana; Ketua Komite Anti Dumping/KADI), Bachrul Chairil; Soleh Rusyadi Maryam dari Sucofindo; dan peneliti INDEF, Abdul Manap Pulungan.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), I Made Adnyana dalam paparannya menyampaikan, saat dunia menghadapi pandemik, nilai neraca perdagangan Indonesia pada Maret 2020 mengalami surplus 743,4 juta dollar AS, dengan nilai ekspor 14,09 miliar dolar AS dan impor 13,35 miliar dolar AS.
"Angka surplus itu menggembirakan di tengah situasi saat ini yang tidak menentu," kata Adnyana seraya menambahkan bahwa neraca perdagangan selama Januari-Maret 2020 mengalami surplus 2,62 miliar dolar AS dengan nilai ekspor sebesar 41,79 miliar dolar AS, dan impor 39,17 miliar dolar AS. Sehingga pada periode itu masih surplus 2,62 miliar dolar AS.
"Posisi ini masih jauh lebih bagus dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mengalami defisit 62,8 juta dolar AS," sambung Adnyana.
Peneliti INDEF, Abdul Manap Pulungan menambahkan, beberapa subsektor yang tumbuh positif di masa pandemi Covid-19 seperti industri makanan dan minuman, industri kimia, farmasi dan obat tradisional, serta industri logam dasar.
"Pasar kita memiliki ukuran daya saing yang sangat tinggi, menempati peringkat ketujuh terbesar di dunia," jelas Abdul Manap.
Terkait dengan gelombang new normal dalam beradaptasi menghadapi pandemik, I Made Adnyana mengakui, sebagian besar badan usaha saat ini fokus dalam gelombang stabilisasi dengan menerapkan langkah-langkah taktis untuk mempertahankan nilai bisnis, termasuk analisis likuiditas, perencanaan skenario operasional, dan penilaian berbagai program stimulus pemerintah.
Dia mengingatkan, harus selalu ada perencanaan untuk masa depan. Optimalkanlah segala sumber daya yang ada termasuk lebih memaksimalkan teknologi untuk meningkatkan efisiensi pada bisnis.
Menurut I Made Adnyana, masa new normal ini telah memunculkan peluang bagi Indonesia menjadi supplier bahan baku atau barang setengah jadi untuk mengurangi ketergantungan produksi pada Tiongkok.
Untuk itu, dia mengingatkan pentingnya peningkatan kerja manufaktur yang akan menjadi signal pemulihan ekonomi. "Sektor industri manufaktur domestik bisa menjadi bagian dalam rantai pasok industri global," ujarnya.
Namun, Ketua Komite Anti Damping Indonesia (KADI), Bahrul Chairil mengingatkan, meningkatnya hambatan ekspor impor selama pandemik, terutama untuk beberapa komoditas pangan dan kesehatan.
"Solusinya kita harus tingkatkan kerjasama perdagangan intetnasional," tutut Bahrul, seraya menambahkan ada sekitar 25 lebih negosiasi kerjasama perdagangan yang harus dituntaskan pemerintah.
Selain itu, lanjut Bahrul, untuk mendukung upaya bangkitnya industri dalam negeri di tengah pandemik ini, diperlukan upaya pengendalian impor yang masuk ke Indonesia sebagai bentuk pengamanan pasar dalam negeri dari serbuan barang impor. Sehingga dapat memberikan ruang bagi industri untuk bangkit dan berkembang dalam situasi yang sulit seperti ini.
Untuk itu, I Made Adnyana meminta pemerintah agar terus mendorong pemulihan ekonomi, dengan tetap memastikan terjaganya protokol kesehatan, serta penguatan berbagai dukungan kebijakan.
Abdul Manap Pulungan juga menyoroti realisasi Program Ekonomi Nasional (PEN) yang hingga Agustus 2020 realisasinya baru mencapai 25 persen dari total Rp 692 triliun.
"Realisasi anggaran insentif usaha baru 14 persen, UMKM 37 persen, sementara sektor korporasi baru 0 persen," ungkap Abdul Manap seraya mendesak pemerintah untuk mempercepat realisasi PEN untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional.