Berita

Ilustrasi/Net

Dahlan Iskan

Referendum Bangsamoro

KAMIS, 31 JANUARI 2019 | 05:00 WIB | OLEH: DAHLAN ISKAN

KATEDRAL dibom. Korbannya hampir 100 orang. Yang 29 meninggal.

Masjid digranat. Tengah malam. Dua orang yang lagi tidur di dalamnya tewas.

Nyawa jadi alat pembayaran. Untuk sebuah referendum di Filipina Selatan. Untuk menentukan berlakunya otonomi daerah di sana.


Namanya daerah otonom Bangsamoro. Referendumnya 21 Januari. Katedral dibom 27 Januari. Masjid digranat 29 Januari.

Hasil referendum, ‘Yes' mendapat 89 persen suara. 'No' mendapat sisanya.

Minggu depan ada referendum lagi. Tanggal 6 Februari. Untuk daerah sekitarnya. Semoga aman-aman saja.

Daerah otonom itu mencakup  lima propinsi. Yang mayoritas penduduknya Islam. Yang sudah sejak zaman orde baru menuntut diberi otonomi. Atau akan merdeka.

Perang terus terjadi di wilayah ini. Pemberontakan, kata pemerintah pusat. Perjuangan, kata para pejuang.

Teror, pembajakan, penyergapan, penyerbuan tidak pernah berhenti.

Orde baru tumbang. Pusat mulai mendengar tuntutan daerah. Dicarilah jalan damai. Akhirnya dilakukan referendum ini.

Dulu, saya pikir, seluruh pulau Mindanao yang besar itu masuk Bangsamoro. Ternyata tidak. Hanya sedikit sekali di bagian baratnya yang termasuk Bangsamoro. Wilayah terluas Bangsamoro lainnya ada di pulau-pulau kecil. Di antara Mindanao dan Sabah/Kaltara.

Karena itu referendum ini sangat rumit. Comelec kerja keras. KPU-nya Filipina itu semula mengira referendumnya bisa sekali saja. Ternyata rumit. Banyak sekali petisi dikirim oleh komunitas. Yang ingin ikut referendum. Atau menolak referendum.

Akhirnya diputuskan dua kali itu. Tiga juta kartu suara dicetak. Sesuai dengan jumlah penduduk di lima propinsi itu. Tapi yang mendaftar hanya 2 juta. Itu pun sudah dengan toleransi besar. Tanpa KTP pun bisa ikut. Asal  direkomendasikan kepala suku.

KTP memang masih problem di pulau-pulau seperti itu. Mereka orang laut. Jiwanya bebas. Bagi mereka KTP adalah lambang pembatasan.

Tapi mereka ingin sekali ikut  referendum. Isunya sangat sensitif: agama. Juga kedaerahan. Kesukuan pula.

Pertanyaan di kartu suara itu ditulis dalam dua bahasa: Tagalog dan Arab. Tidak ada bahasa Inggrisnya.

Pertanyaannya: Apakah Anda ingin UU 11054 yang juga dikenal sebagai UU Otonomi Daerah Islam Bangsamoro diterapkan.

Pemilih bisa menulis 'Yes' atau 'No'. Harus dalam bahasa Inggris. Tidak boleh menulis dalam bahasa Tagalog: 'Oo' atau 'hindi'. Tidak boleh juga dalam bahasa Arab: 'na' am' atau 'la'.

Hasilnya itu tadi. 'Yes' menang telak. Hanya di kota Isabela yang dimenangkan 'No'.

Ini nanti agak rumit. Sebab kota Isabela adalah ibukota propinsi Basilan. Sebuah pulau di dekat Semenanjung Zambuanga.

Secara keseluruhan 'yes' menang di propinsi ini.

Maka sebelum 150 hari ke depan otonomi sudah harus berlaku. Hasil referendum itu harus disahkan parlemen Filipina.

Dengan demikian akan ada jabatan gubernur super di atas lima gubernur propinsi otonom itu. Nama jabatannya: Gubernur Regional Otonomi Bangsamoro.

Gubernur Regional itu akan memiliki tiga deputy. Yang harus dari tiga agama: Islam, Katholik, Adat.

Hukumnya hukum Islam. Bagi yang beragama Islam. Mata uangnya tetap peso. Polisi dan tentaranya tetap pusat.

Belum selesai. Masih akan ada lagi referenduml tanggal 6 Februari depan. Jawaban yang diperlukan tetap 'yes' atau 'no'. Tapi pertanyaannya berbeda.

Referendum minggu depan itu khusus untuk desa-desa sekitar lima propinsi itu.

Pertanyaannya, "Apakah Anda ingin (nama desa) ini masuk Daerah Otonom Bangsamoro". Pertanyaan juga ditulis dalam bahasa Tagalog dan Arab.

Lebih 60 desa atau kota kecil atau pulau kecil yang penduduknya harus ditanya seperti itu. Entah apa hasilnya nanti.

Filipina Selatan memasuki babak baru. Para pejuang Islam di sana sudah menemukan buah perjuangannya.

Tinggal membuktikannya: apakah rakyatnya bisa lebih sejahtera. Atau, seperti yang dipidatokan dalam kampanye pro yes, gaji guru akan naik dua kali.

Atau, rakyatnya itu hanya akan jadi barang dagangan politik para elitnya. [***]

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Aliran Bantuan ke Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08

Korban Bencana di Jabar Lebih Butuh Perhatian Dedi Mulyadi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

UPDATE

Kapolda Metro Buka UKW: Lawan Hoaks, Jaga Jakarta

Selasa, 16 Desember 2025 | 22:11

Aktivis 98 Gandeng PB IDI Salurkan Donasi untuk Korban Banjir Sumatera

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:53

BPK Bongkar Pemborosan Rp12,59 Triliun di Pupuk Indonesia, Penegak Hukum Diminta Usut

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:51

Legislator PDIP: Cerita Revolusi Tidak Hanya Tentang Peluru dan Mesiu

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:40

Mobil Mitra SPPG Kini Hanya Boleh Sampai Luar Pagar Sekolah

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:22

Jangan Jadikan Bencana Alam Ajang Rivalitas dan Bullying Politik

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:19

Prabowo Janji Tuntaskan Trans Papua hingga Hadirkan 2.500 SPPG

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:54

Trio RRT Harus Berani Masuk Penjara sebagai Risiko Perjuangan

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:54

Yaqut Cholil Qoumas Bungkam Usai 8,5 Jam Dicecar KPK

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:47

Prabowo Prediksi Indonesia Duduki Ekonomi ke-4 Dunia dalam 15 Tahun

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:45

Selengkapnya