Berita

Konya/Net

Dahlan Iskan

Konya

MINGGU, 30 DESEMBER 2018 | 05:07 WIB | OLEH: DAHLAN ISKAN

SAYA baca puisi lagi. Juga puisi lama. Kali ini di Konya. Di pedalaman Turki. Di halaman makam Maulana Rumi. Yang juga museumnya.

Suhu minus lima. Salju di mana-mana. Saya pilih puisi pendek. Agar tidak keburu membeku. Dan agar mudah di upload. Lihatlah videonya.

Puisi Maulana Rumi. Puisi yang berumur hampir 1.000 tahun. Puisi abadi.


Saya terpaksa mampir toko. Membeli ketu. Yang sampai menutup telinga. Juga membeli sarung tangan. Yang model baru. Yang tetap bisa untuk main HP.

Minus lima derajat. Angin pula. Telinga terasa mau copot. Telapak tangan mati rasa. Tapi saya tahan diri. Untuk tetap membaca puisi.

Bukankah itu puisi Rumi? Yang mengajarkan pengorbanan tanpa batas? Mengapa takut mati kedinginan?

“Dalam keadaan marah dan murka, jadilah seperti orang mati” kata Maulana Rumi.

“Mbudek dan micek” kata filsafat Jawa. Artinya: mentulikan telinga. Dan membutakan mata.

Rumi pujaan saya. Sejak remaja. Juga pujaan orang sedunia. Lihatlah siapa saja yang datang ke Konya. Dan mereka melakukan apa.

Saya lihat wanita India. Dari Mumbai. Duduk bersila. Di lantai ruang besar makam itu. Dia memejamkan mata. Mendengarkan instrumentalia. Instrumen musik sufi. Yang dialunkan di dalam gedung museum itu.

Saya juga bersila di sebelahnya. Setelah tadi lama bersila di pojok sana. Saya amati wanita India itu. Saya tunggu dengan sabar. Kapan dia membuka mata.

“Saya bisa merasa tenang di sini,” katanya. Setelah matanya melihat dunia di sekitarnya. Dan melihat keinginan saya menyapanya.

“Saya sekarang memilih tinggal di Konya. Agar tiap hari bisa menenangkan diri di sini,” katanya.

“Dengan suami? ” tanya saya.

“Sendiri. Suami yang sering ke sini,” jawabnya.

Wanita itu lulusan teknik industri. Lalu bekerja di Dubai. Di perusahaan minyak. Selama hampir 20 tahun.

“Uang banyak untuk apa? Kalau jiwa tidak tenang? “, katanya. Ia pun berhenti bekerja. Terutama setelah kehilangan anak wanita satu-satunya. Umur 5 tahun. Kecelakaan mobil.

Nama wanita itu Amrita. Tidak hanya selalu bersemedi. Tapi juga sampai mendalami sufi Rumi. Termasuk mempraktekkan tari sufi. Tari Sheman. Yang muter-muter tanpa henti itu.

“Saat menari itu Anda bisa sampai trance“? tanya saya.

“Tentu,” jawabnya.

Murid-murid di madrasah saya juga selalu latihan tari itu. Di Takeran, Magetan. Tapi lebih untuk pertunjukan. Bukan untuk menaikkan jiwa ke luar angkasa.

Anda Islam? Hindu? Dia tidak langsung menjawab. Lama menundukkan kepala. Saya pun merasa bersalah. Terlalu terbawa jiwa wartawan.

Mestinya saya ke sini membawa jiwa tarekat. Pertanyaan seperti itu menghina.

Maulana Rumi tidak pernah mempersoalkan agama. Bahkan dalam satu puisinya Rumi menulis: bukan Islam, bukan Kristen, bukan Yahudi. Yang penting: jiwa bisa sampai. Ke Yang Maha Agung. Yang Maha Pencipta.

Tapi Rumi adalah Islam. Guru tasawuf. Sufi Agung, mesti ia tidak pernah mengklaim itu.

Rumi lahir di tahun 1207. Setengah abad sebelum Majapahit berdiri.

Sebenarnya ia lahir di Balukh. Dulu wilayah Parsi. Sekarang masuk Afganistan. Memang Rumi dari suku Parsi. Yang sekarang mendominasi Iran. Zaman Rumi, Mojopahit belum ada. Kerajaan Pajajaran belum lahir.

Kita merasa zaman Mojopahit itu begitu kunonya. Guru sejarah tidak meletakkan Mojopahit dalam peta dunia. Saat mengajar di SD dulu. Tidak pernah ada penjelasan: di zaman itu di mana sudah seperti apa.

Konya sudah melahirkan Rumi. Meski Mojopahit kemudian juga melahirkan empu Prapanca. Wartawan pertama kita.

Di Konya udara memang membeku. Di luar Rumi.

Di Konya jiwa mengangkasa. Di dalam dada. [***]

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Aliran Bantuan ke Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08

Korban Bencana di Jabar Lebih Butuh Perhatian Dedi Mulyadi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

UPDATE

UNJ Gelar Diskusi dan Galang Donasi Kemanusiaan untuk Sumatera

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:10

Skandal Sertifikasi K3: KPK Panggil Irjen Kemnaker, Total Aliran Dana Rp81 Miliar

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:04

KPU Raih Lembaga Terinformatif dari Komisi Informasi

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:41

Dipimpin Ferry Juliantono, Kemenkop Masuk 10 Besar Badan Publik Informatif

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:13

KPK Janji Usut Anggota Komisi XI DPR Lain dalam Kasus Dana CSR BI-OJK

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:12

Harga Minyak Turun Dipicu Melemahnya Data Ekonomi China

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:03

Kritik “Wisata Bencana”, Prabowo Tak Ingin Menteri Kabinet Cuma Gemar Bersolek

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:56

Din Syamsuddin Dorong UMJ jadi Universitas Kelas Dunia di Usia 70 Tahun

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:54

Tentang Natal Bersama, Wamenag Ingatkan Itu Perayaan Umat Kristiani Kemenag Bukan Lintas Agama

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:46

Dolar AS Melemah di Tengah Pekan Krusial Bank Sentral

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:33

Selengkapnya