Berita

Ilustrasi/Net

Politik

Membangun Tanpa Utang, Contoh Buat Sandi Dan Sri

SELASA, 11 DESEMBER 2018 | 17:55 WIB | OLEH: EDY MULYADI

MENTERI Keuangan Sri Mulyani Indrawati mendukung gagasan calon Wakil Presiden Sandiaga Salahuddin Uno yang jika dia dan pasangannya Prabowo Subianto terpilih, akan membangun infrastruktur tanpa utang. Kebijakan ini, kata Menkeu, akan membuat perekonomian dan keuangan Indonesia jadi sehat.

"Membangun infrastruktur tanpa utang itu bagus. Ini akan menjamin Indonesia memiliki perekonomian dan keuangan negara yang sehat, di mana utang semakin kecil. Itu saya sangat hargai sekali," kata Sri Mulyani di Gedung Dhanapala Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (10/12).

Sampai di sini kita melihat adanya paradoks. Sri mengaku membangun infrastruktur tanpa utang menjadi sangat penting karena akan menyehatkan APBN. Indikator APBN yang sehat, menurut dia, adalah utang yang semakin mengecil. Artinya, dia mengakui bahwa utang sudah menjadi beban yang sangat serius bagi APBN kita.

Dalam banyak kesempatan, Sri selalu mengklaim telah mengelola APBN dengan prudent atawa hati-hati. Dia juga mengaku concern dengan utang. Di sisi lain, kendati jumlah utang terus membengkak, bekas Direktur Pelaksana Bank Dunia itu selalu saja menyebut masih aman karena rasionya dibanding PDB masih jauh di bawah batas yang diamanatkan UU, yaitu 60 persen.

Data Bank Indonesia menunjukkan, utang luar negeri (ULN) Indonesia sampai triwulan III-2018 mencapai 359,8 miliar dolar AS. Dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, ULN naik 4,2 persen (yoy). Jumlah ini meliputi utang pemerintah dan bank sentral sebesar 179,2 miliar dolar AS, serta utang swasta termasuk BUMN 180,6 miliar dolar AS. Dengan kurs dolar BI per hari ini (11/12) yang Rp 14.613 per dolar AS, maka utang yang 359,8 miliar dolar itu setara dengan Rp 5.258 triliun.

"Lempar Handuk Putih"

Mungkinkah dukungan Sri terhadap rencana kebijakan Prabowo-Sandi yang akan membangun infrastruktur tanpa utang menunjukkan sejatinya dia nyaris "lempar handuk putih"? Pasalnya, jumlah utang yang kelewat gede memang amat merepotkan. Di ring tinju, kalau pelatih sudah melempar handuk putih, artinya menyerah. Bayangkan, di APBN 2018, alokasi pembayaran bunga plus pokok utang mencapai Rp 604,4 triliun. Jumlah superjumbo itu terdiri atas pembayaran bunga sebesar Rp 249,4 triliun dan cicilan pokok Rp 355 triliun (angka ini tidak dimunculkan di APBN).

Alokasi untuk membayar cicilan dan pokok utang ini jauh lebih besar ketimbang anggaran pendidikan yang sesuai amanat UU minimal 20 persen, yaitu Rp 444,1 triliun. Juga lebih gede dibanding alokasi untuk infrastruktur yang sangat dibanggakan itu, Rp 410,4 triliun. Ternyata, diam-diam anggaran untuk membayar utang telah melahap 37 persen dari pendapatan perpajakan kita. Itulah barangkali sebabnya Sri tampak antusias jika gagasan Prabowo-Sandi bisa direalisasikan. Mungkin ini bisa jadi exit dari "nafasnya yang hampir putus" karena kepayahan mengelola APBN.

Tapi, tunggu dulu. Bisakah membangun infrastruktur tanpa utang? Bagaimana caranya? Jawabnya, bisa! Rizal Ramli, Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur pernah melakukannya. Waktu itu, RR, begitu dia biasa disapa, mampu membalik pertumbuhan ekonomi dari minus 3 persen menjadi 4,5 persen. Hebatnya lagi, pertumbuhan ekonomi total 7,5 persen itu diraih tanpa utang, justru sukses mengurangi utang Indonesia sebesar 4,5 miliar dolar AS.

Bagaimana cara RR melakukan semua itu? Di antaranya, dengan melakukan pertukaran utang dengan "biaya" pelestarian lingkungan. Utang ke Jerman, misalnya, Indonesia menyediakan 100.000 ha lahan hutan untuk dikonservasi. Jerman mengganjar upaya itu dengan mengurangi utang hingga ratusan juta dolar.

Dia juga melakukan restrukturisasi utang, menukar utang lama berbunga mahal dengan utang baru yang bunganya lebih murah dan bertenor lebih panjang. Hasilnya, Kuwait bukan saja setuju merestrukturisasi utang Indonesia, tapi juga menghadiahi jembatan layang Pasopati di Bandung yang dibangunkan secara gratis.

Pembangunan infrastruktur tanpa utang juga bisa dilakukan dengan sekuritisasi proyek infrastruktur yang sudah jadi. Caranya, Pemerintah menjaminkan potensi pendapatan proyek di masa depan untuk memperoleh  pendanaan. Sekuritisasi sangat berbeda dengan penjualan aset BUMN kepada swasta. Sayangnya, justru pola terakhirlah yang kini banyak dilakukan Pemerintah Jokowi. Itulah sebabnya kita ketahui Pemerintah amat bernafsu menjual jalan tol, pelabuhan, dan bandara.

Intinya, diperlukan kemampuan para petinggi negeri untuk mengambil langkah terobosan alias out of the box. Pemerintah juga dituntut inovatif dan kreatif. Bukan seperti para menteri ekonomi sekarang yang bisanya hanya menambah utang dan menjual aset negara. Bagi para penganut paham neolib ini, membayar utang adalah prioritas utama. Mereka merasa puas bahkan bangga kalau Indonesia dianggap sebagai good boy karena kepatuhannya dalam membayar utang tepat pada waktunya.

Pengurangan Pajak

Sebelumnya, Sandiaga menyatakan banyak cara yang bisa dilakukan dalam membangun infrastruktur tanpa harus berutang. Antara lain, mendorong kerjasama dengan pihak swasta hingga meningkatkan pendapatan dari sisi penerimaan pajak. Peningkatan pendapatan perpajakan dilakukan melalui perbaikan tax ratio. Caranya, bukan dengan menaikkan tarif pajak, tapi justru menurunkan tarif pajak. Langkah inilah yang dilakukan Presiden Rusia Vladimir Putin pada 2001 silam.

Waktu itu tarif pajak penghasilan di Rusia 80 persen. Putin menurunkan menjadi 13 persen dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran rakyat dalam membayar pajak. Dampaknya, pendapatan pajak penghasilan pribadi meningkat dari 6,2 miliar dolar AS pada 2000 menjadi hampir 12 miliar dolar AS pada 2002.

Bukan itu saja, tingkat kemiskinan di Rusia juga tercatat terus turun. World Bank mencatat, rasio tingkat kemiskinan dari batas garis kemiskinan Rusia di 2000 sekitar 29 persen dari total penduduk turun jadi 24,6 persen. Angka itu terus terjun hingga pada 2012 berada di level 10,7 persen.

Tentang pengurangan pajak saat ekonomi melemah juga sudah lama disuarakan Rizal Ramli. Pemerintah, menurut dia, harus mengurangi pajak dan menggelontorkan anggaran untuk memompa perekonomian di dalam negeri. Langkah inilah yang dilakukan Amerika saat negeri itu diterjang krisis. Sayangnya, Pemerintah kita justru melakukan pengetatan anggaran (austerity policy) untuk menangani masalah ekonomi yang lunglai. Akibatnya, justru kontra produktif. Tapi, begitulah bila perkara ekonomi diserahkan kepada para hamba dan pejuang neolib!

Dengan kebijakan yang creditors first dan generik seperti saat ini, tidak heran bila tax ratio pada September 2018, tanpa memasukkan penerimaan SDA, rasio pajak hanya di kisaran 9,3 persen. Padahal, sampai periode yang sama tahun sebelumnya angkanya mencapai 9,9 persen. Harusnya, kalau mau membangun tanpa utang dan ekonomi tumbuh di atas 6,5 persen, rasio pajak ada di angka 16 persen.

Dengan fakta seperti ini dan bombardir defisit di banyak area (neraca perdagangan, transaksi berjalan, neraca pembayaran, keseimbangan primer, dan defisit APBN) kok bisa-bisanya Sri mengklaim telah mengelola APBN dengan prudent? Piye to, mbok? [***]

Penulis adalah Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS).

Populer

Menag Masih Pelajari Kasus Pelarangan Ibadah di Bandung

Senin, 10 Maret 2025 | 20:00

Duit Sitaan Korupsi di Kejagung Tak Pernah Utuh Kembali ke Rakyat

Senin, 10 Maret 2025 | 12:58

Polda Metro Didesak Segera Periksa Pemilik MNC Asia Holding Hary Tanoe

Minggu, 09 Maret 2025 | 18:30

Digugat CMNP, Hary Tanoe dan MNC Holding Terancam Bangkrut?

Selasa, 04 Maret 2025 | 01:51

Nyanyian Riza Chalid Penting Mengungkap Pejabat Serakah

Minggu, 09 Maret 2025 | 20:58

CMNP Minta Pengadilan Sita Jaminan Harta Hary Tanoe

Selasa, 04 Maret 2025 | 03:55

Usia Pensiun TNI Bakal Diperpanjang, Ketum PEPABRI: Kalau 58 Tahun Kan Masih Lucu-Lucunya

Senin, 10 Maret 2025 | 19:58

UPDATE

TNI dan Satgas PKH Garda Terdepan Tegakkan Hukum Perkebunan Sawit Ilegal

Kamis, 13 Maret 2025 | 19:30

Rumah Ridwan Kamil Digeledah Pertama di Kasus bank bjb, Ini Sebabnya

Kamis, 13 Maret 2025 | 19:24

Kelakar Prabowo Soal Jaksa Agung yang Absen di Bukber Rektor

Kamis, 13 Maret 2025 | 19:15

KPK Sita Deposito Hingga Bangunan di Kasus Korupsi bank bjb

Kamis, 13 Maret 2025 | 18:51

Legislator PDIP Usul Pembentukan Kamar Khusus Pajak di MA

Kamis, 13 Maret 2025 | 18:35

Terus Bertumbuh, Ketua Komisi VI Apresiasi Kinerja Antam

Kamis, 13 Maret 2025 | 18:09

Hormati KPK, bank bjb Pastikan Kegiatan Bisnis Tetap Jalan

Kamis, 13 Maret 2025 | 18:08

Pejabat bank bjb dan Agensi Sepakat Markup Iklan, Begini Modusnya

Kamis, 13 Maret 2025 | 18:07

Sri Mulyani: Penurunan Penerimaan Pajak Tak Perlu Didramatisasi

Kamis, 13 Maret 2025 | 17:58

Perdana Prabowo Undang Rektor Seluruh Indonesia ke Istana

Kamis, 13 Maret 2025 | 17:54

Selengkapnya