Berita

Ilustrasi/Net

Politik

Pilpres 2019, Dicari Sosok Kredibel

RABU, 29 AGUSTUS 2018 | 21:51 WIB | OLEH: EDY MULYADI

KALAU ada Capres/Cawapres 2019 dalam kampanyenya nanti menawarkan ikan dan daging kepada rakyat, apakah anda akan mendukung yang bersangkutan?

Begitu pertanyaan seorang teman saya. Rupanya dia membaca artikel berjudul Pilpres 2019: Tahu Versus Tempe yang saya tulis 26 Agustus 2018 lalu.

Tulisan yang kemudian beredar di jagad medsos dan media daring itu ternyata menarik perhatian teman tadi.

Buat yang belum sempat membaca, di bawah ini isi pokok artikel tersebut; Paslon Jokowi-Maruf Amin dan Prabowo-Sandi yang akan berlaga di Pilpres 2019 hanya menawarkan tahu dan tempe. Padahal rakyat menghendaki ikan dan daging. Sayangnya kedua Paslon nyaris tidak menawarkan menu baru.

Kalau Jokowi diibaratkan tempe, maka yang dirasakan rakyat dalam empat tahun terakhir justru bak dipaksa makan tempe bongkrek yang sering beracun.

Empat tahun di masa Jokowi rakyat banyak 'keracunan tempe bongkrek' karena beratnya beban hidup. Harga-harga melambung tinggi. Listrik, BBM, gas terus melonjak harganya karena pengurangan subsidi. Porsi anggaran terbesar justru diutamakan untuk membayar utang. Lapangan kerja sulit didapat, hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, dan seabreg kesulitan hidup lain.

Bagi kalangan Islam, 'tempe bongkrek' terasa lebih mematikan. Para habaib, ulama, dan ustadz banyak dikriminalisasi. Perlakuan dan penegakan hukum antara muslim dan nonmuslim terasa sangat timpang, dan sejumlah ketidakadilan lainnya yang umat rasakan.

Curang, tidak jujur

Kembali ke pertanyaan kawan tersebut, jawaban saya adalah tergantung. Ya, tergantung siapa dari kedua Paslon yang menjanjikan daging dan ikan.

Tentu kita masih ingat peribahasa sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, lancung berarti tidak tulen; palsu; tiruan (adjektiva). Contoh: uang-Lancung-. Lancung juga berarti tidak jujur; curang (adjektiva) Contoh: perbuatan yang Lancung.

Sejak usia Sekolah Dasar (SD) kita sudah mendengar dan paham makna peribahasa ini. Pada konteks kehidupan sehari-hari, peribahasa ini lebih banyak diterapkan pada perilaku curang. Curang antar lain bisa berarti berbohong, tidak menepati janji, juga culas.

Maka pada titik ini rekam jejak menjadi amat penting. Rekam jejak, terutama di era digital seperti sekarang, sangat mudah ditelusuri. Apa yang kita ucapakan dan lakukan, semuanya terekam dengan baik di media digital. Orang dengan mudah bisa menemukan kembali, kendati sudah lewat beberapa masa. Tinggal memasukkan kata kunci lalu klik, maka segera tersaji jejak yang dicari.

Bagaimana jika yang berlaku curang adalah capres/cawapres? Misalnya, yang bersangkutan pernah menyatakan sedih bila mendengar impor, janji memberi tanah pertanian untuk 4,5 juta kepala keluarga dan perbaikan irigasi di tiga juta hektare sawah, janji akan menyejahterakan kehidupan petani, janji tidak akan membuat utang baru, janji akan membesarkan Pertamina dan mengalahkan Petronas dalam lima tahun.

Janji mencetak 10 juta lapangan kerja untuk anak negeri, janji meningkatkan pertumbuhan ekonomi 8 persen per tahun, janji akan menyusun kabinet yang ramping, janji tidak akan bagi-bagi kursi menteri ke partai pendukungnya, janji akan berbicara terkait kasus BLBI, janji menghentikan impor daging, dan janji membeli kembali Indosat. Namun hingga masa jabatannya akan berakhir, janji-janji itu bak debu ditiup angina. Berlalu, tanpa tilas…

Kredibilitas

Perkara lancung ini berkorelasi erat dengan apa yang disebut kredibilitas. Orang yang terlalu banyak mengumbar janji tapi teramat sedikit yang ditepati, jelas tidak bisa disebut kredibel. Orang seperti ini tidak layak dijadikan pemimpin.

Dalam bahasa agama, orang ini telah memenuhi salah satu unsur munafik! Ya, ciri orang munafik adalah bila berjanji dia ingkari. Salah satu hadits riwayat Bukhori yang terkenal tercatat Nabi Muhammad SAW menyebut dua dari tiga ciri orang munafik. Yaitu, bila dipercaya khianat dan bila berkata dia berbohong.

Itulah sebabnya janji memberi daging dan ikan kepada rakyat Indonesia harus disampaikan oleh orang yang kredibel. Orang ini mesti punya keberpihakan yang jelas dan konkrit dalam upaya menyejahterakan rakyat Indonesia. Orang ini harus punya komitmen yang kuat, dan itu dibuktikan dengan berbagai kebijakan publik yang dia buat. Rekam jejak perjuangannya dalam melawan dominasi kapitalisme dan neolib yang membelenggu bangsa tergurat dengan jelas dan tegas.

Sayangnya, kriteria figur seperti itu tidak ada dalam kedua Paslon yang akan bertarung di Pilpres 2019. Seperti pada artikel saya sebelumnya, keduanya bagai menyodorkan tahu dan tempe belaka. Bahkan, satu Paslon sudah terbukti menyuguhkan dan menjejalkan tempe bongkrek yang beracun ke mulut rakyat.

Kalau sang kandidat capres-cawapres mau merebut hati rakyat dengan tawaran daging dan ikan, mereka harus merekrut tokoh yang memenuhi kriteria kredibilitas tadi.

Rizal Ramli adalah satu dari sangat sedikit tokoh yang dimiliki Indonesia yang punya rekam jejak kredibel. Dia juga terbukti punya kapasitas sekaligus kapabilitas dalam memahami dan menyelesaikan berbagai masalah (ekonomi) bangsa dengan cara-cara out of the box. Dan, satu lagi yang sangat penting, tokoh ini punya integritas yang teruji.

Pasangan Prabowo-Sandi sepertinya sudah lama kepincut terhadap ekonom senior sekaligus teknokrat bertangan dingin itu. Bahkan Sandi berkali-kali menyatakan kekagumannya dan Gerindra sangat ngebet menggandeng Rizal Ramli jadi bagian dari tim suksesnya.

Bagaimana dengan pasangan Jokowi-Ma'ruf? Hingga kini mereka memang belum membuat pernyataan terbuka terkait rencana melibatkan Menko Ekuin dan Menkeu era Gus Dur itu. Namun bisik-bisak dari seputar Istana menyebutkan, sudah ada pendekatan dari kubu ini kepadanya.

Independen, tapi…

Sepertinya tidak mudah bagi kedua kubu dalam merayu sang tokoh. Pasalnya, kemarin (28/8), Rizal Ramli malah menyatakan akan independen dalam ajang Pilpres kali ini. Dia tidak ingin bergabung di salah satu kubu. Guna memberi gaung lebih luas, bapak tiga anak itu bahkan sengaja menggelar jumpa pers di satu cafe di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, terkait pernyataannya ini.

Tapi, 'deklarasi' netralitas Rizal Ramli sepertinya bukan harga mati. Sebab, pada beberapa kesempatan, dia menyatakan bersedia membantu Paslon yang berjanji dan menunjukkan kesungguhan untuk 'memberi daging dan ikan kepada rakyat'. Dia bahkan mau habis-habisan jika sang Paslon bersungguh-sungguh mau menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia.

"Mohon maaf, saya menilai capres-cawapres yang bertarung di 2019 ini seperti tahu lawan tempe. Padahal rakyat maunya makan ikan, daging dan makan bergizi lainnya. Kalau ada Paslon yang bersedia memberi komitmen, bahwa mereka akan bekerja ekstra keras untuk menyejahterakan mayoritas rakyat, maka saya akan dukung secara all out," ungkapnya satu ketika.

Bagi mantan anggota Panel Tim Ahli Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) ini, ukuran paling gampang dari komitmen Paslon adalah, mereka mau meninggalkan ideologi neolib dalam membangun Indonesia. Fakta menunjukkan, mazhab neolib yang telah diterapkan selama puluhan tahun tidak bisa mengantarkan Indonesia menjadi negara yang maju dan rakyatnya sejahtera. Pembangunan yang berbasis utang hanya menimbulkan ketergantungan yang amat tinggi kepada negara-negara pemberi utang.

Pertanyaannya kini adalah, apakah rakyat Indonesia bakal menghukum yang bersangkutan dengan tidak mempercayainya seumur hidup? Emmm, sepertinya belum tentu juga. Rakyat Indonesia sudah lama dikenal sebagai pemaaf, gampang lupa, dan maaf, sering melakukakn kesalahan yang sama untuk kesekian kalinya.

Sejarah mencatat, para pemimpin datang dan pergi. Saat kampanye, mereka menebar janji-janji manis. Namun saat berkuasa, teramat sedikit dari janji-janji surga itu yang ditepati. Tapi, di sinilah hebatnya, toh rakyat Indonesia dengan gampang melupakan perlaku lancung yang bersangkutan. Buktinya, pada ajang pemilihan berikutnya, tetap saja sebagian rakyat melabuhkan suaranya kepada si lancung tadi. Ampun dehhh…[***]


Penulis adalah Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)



Populer

Menag Masih Pelajari Kasus Pelarangan Ibadah di Bandung

Senin, 10 Maret 2025 | 20:00

Duit Sitaan Korupsi di Kejagung Tak Pernah Utuh Kembali ke Rakyat

Senin, 10 Maret 2025 | 12:58

Polda Metro Didesak Segera Periksa Pemilik MNC Asia Holding Hary Tanoe

Minggu, 09 Maret 2025 | 18:30

Digugat CMNP, Hary Tanoe dan MNC Holding Terancam Bangkrut?

Selasa, 04 Maret 2025 | 01:51

Nyanyian Riza Chalid Penting Mengungkap Pejabat Serakah

Minggu, 09 Maret 2025 | 20:58

CMNP Minta Pengadilan Sita Jaminan Harta Hary Tanoe

Selasa, 04 Maret 2025 | 03:55

Usia Pensiun TNI Bakal Diperpanjang, Ketum PEPABRI: Kalau 58 Tahun Kan Masih Lucu-Lucunya

Senin, 10 Maret 2025 | 19:58

UPDATE

CASN jadi Korban Ketidakpastian Menteri PANRB

Kamis, 13 Maret 2025 | 09:33

Sore Ini Prabowo Gelar Diskusi Panel Bareng Pimpinan Perguruan Tinggi

Kamis, 13 Maret 2025 | 09:28

Pasar Masih Tegang, Yen dan Euro Tertekan oleh Dolar AS

Kamis, 13 Maret 2025 | 09:21

Hendrik PH, Teman Seangkatan Teddy Masih Berpangkat Kapten

Kamis, 13 Maret 2025 | 09:14

Emas Spot Berkilau di Tengah Ketidakpastian Tarif

Kamis, 13 Maret 2025 | 09:07

Kegiatan di Vihara Kencana Langgar SKB Dua Menteri dan Perda Tibum

Kamis, 13 Maret 2025 | 08:56

Bamus Betawi dan Bamus Suku Betawi Sama-sama Terima Hibah Rp8 Miliar

Kamis, 13 Maret 2025 | 08:28

Febri Diansyah Harus Jaga Etika saat Bela Hasto

Kamis, 13 Maret 2025 | 08:10

Kapolri Mutasi 1.255 Pati-Pamen, 10 Polwan Jabat Kapolres

Kamis, 13 Maret 2025 | 07:59

10 Kapolda Diganti, Siapa Saja?

Kamis, 13 Maret 2025 | 07:47

Selengkapnya