Berita

Ilustrasi/Net

Politik

Pilpres 2019: Tempe Versus Tahu

SENIN, 27 AGUSTUS 2018 | 00:00 WIB | OLEH: EDY MULYADI

MASA pendaftaran Capres/Cawapres sudah 16 hari berlalu. Namun hinggi kini Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama  belum memutuskan bakal mendukung pasangan calon Presiden/Wapres Prabowo-Sandi (PAS).

Padahal, Ijtima Ulama yang diselenggarakan GNPF-Ulama merekomendasikan Cawapres Prabowo dengan dua Cawapres Salim Segaf atau Ustaz Abdul Shomad. Padahal umat sangat menunggu-nunggu pernyataan organisasi yang dianggap memayungi unsur-unsur pegiat aksi bela Islam yang berjilid-jilid.

Di sisi lain, realitas di lapangan menunjukkan adanya sikap tidak sabar dari sebagian ummat Islam dan sejumlah tokoh. Hal ini antara lain diwujudkan dengan adanya deklarasi-deklarasi dukungan terhadap paslon Prabowo-Sandi. Mereka merasa bisa menyandarkan harapan adanya perubahan yang lebih baik kepada pasangan ini dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, dan bernegara.

Sikap serupa dengan GNPF-Ulama juga ditunjukkan tokoh nasional Rizal Ramli. Lelaki yang dikenal gigih mengusung ekonomi konstitusi ini, hingga kini juga belum menentukan dukungan terhadap salah satu Paslon Capres dan Cawapres yang akan berlaga di 2019.

Padahal, Sandi dan sejumlah elite Gerindra berkali-kali menyatakan sangat kepincut dengan Rizal Ramli. Mereka berharap tokoh yang dekat dengan kalangan grass root itu mau bergabung sebagai tim sukses. Sebagian lain bahkan menyebutnya layak menjadi ketua Timses Prabowo-Sandi.

‘Cek kosong’

Baik GNPF-Ulama maupun Rizal Ramli ternyata punya alasan yang sama. Mereka tidak mau memberi ‘cek kosong’ kepada Paslon tertentu. Buat keduanaya, harus ada komitmen yang jelas dan tegas dari Paslon sebelum memperoleh dukungan.

Ketua GNPF-Ulama ustaz Yusuf Muhammad Martak, misalnya, jelas-jelas menghendaki Prabowo-Sandi menandatangani komitmen yang disebutnya sebagai Pakta Integritas. Kalau mereka setuju, maka GNPF-Ulama menjanjikan dukungan penuh dari umat untuk pemenangan PAS.

Disebut dukungan penuh, karena GNPF-Ulama bersama umat akan menyiapkan logistik, saksi-saksi, dan Posko-posko pemenangan secara masif sampai ke tingkat RT/RW. Semua biayanya berasal dari kantong umat secara swadana dan gotong-royong alias gratis, sama sekali tidak perlu gerojokan dana dari PAS. Penegasan ini pula yang disampaikan Habib Rizieq Shihab dari Mekah saat memberi sambutan pada pembukaa Ijtima Ulama, 29 Juli silam.

Dalam berbagai pernyataan yang suaranya direkam dan menjadi viral, Habib juga minta umat bersabar menunggu digelarnya Ijtima Ulama 2. Di forum yang akan diselenggarakan satu hari antara 8-15 September inilah akan ditentukan sikap ulama terhadap PAS.

“Kami sudah menyiapkan Pakta Intergitas berisi sejumah tuntutan dan harapan ummat Islam yang harus disetujui PAS sebelum memperoleh dukungan. Kalau Prabowo-Sandi menolak Pakta Integritas, maka GNPF-Ulama akan berlepas diri dari keduanya. Silakan umat dan ulama menentukan pilihan masing-masing,” ujarnya.

Rakyat dapat apa?

Bagaimana dengan Rizal Ramli? Pada prinsipnya sama saja dengan GNPF-Ulama. Menurut mantan anggota tim panel ahli ekonomi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) ini, soal dukungannya kepada salah satu Paslon itu perkara gampang. Yang penting, lanjut dia, rakyat dapat apa atas dukungan yang diberikan.

Selama ini rakyat sudah terlalu menderita. Presiden datang dan pergi silih berganti. Namun keberpihakan mereka kepada rakyat hanya sebatas jargon saat kampanye. Setelah berkuasa, mereka lupa dengan janji-janjinya. Penguasa hanya sibuk melayani para majikan yang menjadi bohirnya. Mereka membayar utang dengan berbagai  kebijakan yang menguntungkan para sponsor tapi merugikan negara dan rakyat Indonesia.

“Mohon maaf, saya menilai Capres/Cawapres yang bertarung di 2019 ini seperti tahu lawan tempe. Padahal rakyat maunya makan ikan, daging dan makan bergizi lainnya. Kalau ada Paslon yang bersedia memberi komitmen, bahwa mereka akan bekerja ekstra keras untuk menyejahterakan mayoritas rakyat, maka saya akan dukung secara all out,” ungkapnya.

Bagi Rizal Ramli, ukuran paling gampang dari komitmen Paslon adalah, mereka mau meninggalkan ideologi neolib dalam membangun Indonesia. Fakta menunjukkan, mazhab neolib yang telah diterapkan selama puluhan tahun tidak bisa mengantarkan Indonesia menjadi negara yang maju dan rakyatnya sejahtera. Pembangunan yang berbasis utang hanya menimbulkan ketergantungan yang amat tinggi kepada negara-negara pemberi utang.

“Saya banyak berkeliling ke daerah. Saya juga sering didatangi rakyat. Ada petani, petambak garam, pengusaha UMKM, mahasiswa, buruh, aktivis, bahkan ibu-ibu. Semuanya mengeluh hidup makin susah. Pertanyaan saya kepada mereka sederhana saja. Apakah dalam empat tahun ini hidup menjadi mudah. Apakah rakyat yakin 5-6 tahun ke depan hidup akan lebih mudah? Ternyata jawabnya kompak, tidak. Nah, kita harus ubah semua ini. Salah satu yang paling penting, tinggalkan neolib,” tukas Rizal Ramli.

Sampai titik ini, tamsil tahu versus tempe yang disebut Rizal Ramli benar adanya. Kedua Paslon nyaris tidak menawarkan menu baru. Kalau Jokowi diibaratkan tempe, maka yang dirasakan rakyat dalam empat tahun terakhir justru bak dipaksa makan tempe bongkrek.

Masih ingat tempe bongkrek? Tempe bongkrek terkenal di masa Orde Baru pada 1970an. Jenis tempe yang dibuat dari kacang kedelai dan ampas kelapa ini sangat populer di Jawa Tengah khususnya di daerah Banyumas. Sayangnya, tempe ini seringkali menyebabkan keracunan karena terkontaminasi bakteri burkholderia galdioli yang menghasilkan racun berupa asam bongkrek dan toxoflavin. Berkali-kali rakyat di pedesaan tewas karena mengonsumi. Karena sering menyebabkan korban jiwa, Pemerintah akhirnya melarang penjualan tempe jenis ini.

Nah, empat tahun di masa Jokowi rakyat banyak ‘keracunan tempe bongkrek’ karena beratnya beban hidup. Harga-harga melambung tinggi. Listrik, BBM, gas terus melonjak harganya karena pengurangan subsidi. Porsi anggaran terbesar justru diutamakan untuk membayar utang. Lapangan kerja sulit didapat, hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, dan seabreg kesulitan hidup lain.

Bagi kalangan Islam, ‘tempe bongkrek’ terasa lebih mematikan. Para habib, ulama, dan ustaz banyak dikriminalisasi. Perlakuan dan penegakan hukum antara muslim dan non-muslim terasa sangat timpang, dan sejumlah ketidakadilan lainnya yang umat rasakan

Otoriter?

Berbagai kenyataan yang dialami umat Islam khususnya dan rakyat secara umum inilah yang melahirkan ketidakpuasan. Kian lama perasaan ini kian meluas. Ini pula yang menjelaskan mengapa gerakan #2019GantiPresiden begitu disambut antusias di semua daerah tempat. Deklarasinya selalu dihadiri ribuan bahkan puluhan ribu massa.

Sayangnya, Pemerintah dan atau para pendukung Jokowi justru melakukan banyak blunder. Dengan dalih adanya penolakan dari sebagian kalangan, aparat melarang bahkan membubarkan acara-acara deklarasi. Lebih disayangkan lagi, sampai kini tidak ada sepatah pun kata dari Jokowi tentang persekusi dan intimidasi dari kelompok tertentu dan aparat kepada para peserta dan aktivis #2019GantiPresiden. Padahal, bisa dipastikan Jokowi tahu betul, bahwa dalam konteks demokrasi gerakan ini sah dan konstitusional.

Akibatnya, sikap diam Jokowi atas rentetan peristiwa ini diterjemahkan oleh banyak kalangan sebagai pembiaran terjadinya ketidakadilan. Pasalnya, acara serupa yang bertajuk mendukung jabatannya 2 periode bukan saja diizinkan, tapi sekaligus dihadiri Presiden. Acara digelar secara mewah dan wah menghabiskan  anggaran belasan miliar rupiah. Kalau ada kelompok boleh menyatakan aspirasinya untuk mendukung 2 periode, mengapa pihak yang ingin ganti Presiden tidak boleh?

Sikap diam Jokowi ini pula yang disesalkan Rizal Ramli. Dalam cuitannya di @RamliRizal, dia menulis, “Mas @jokowi, melarang diskusi-diskusi dan gerakan-gerakan aspirasi publik adalah “kampanye” terburuk untuk mas @jokowi. Kami dan banyak kawan-kawan melawan sikap-sikap otoriter, bahkan sampai dipenjara 1,5 tahun. Jangan tarik mundur demokrasi. You are in power, tolong pakai cara-cara elegan.”

So, buat para Capres/Cawapres yang berlaga tahun depan, mau dapat dukungan dan suara rakyat? Jangan beri rakyat tahu atau tempe lagi!

Penulis Adalah Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

Populer

Menag Masih Pelajari Kasus Pelarangan Ibadah di Bandung

Senin, 10 Maret 2025 | 20:00

Duit Sitaan Korupsi di Kejagung Tak Pernah Utuh Kembali ke Rakyat

Senin, 10 Maret 2025 | 12:58

Polda Metro Didesak Segera Periksa Pemilik MNC Asia Holding Hary Tanoe

Minggu, 09 Maret 2025 | 18:30

Digugat CMNP, Hary Tanoe dan MNC Holding Terancam Bangkrut?

Selasa, 04 Maret 2025 | 01:51

Nyanyian Riza Chalid Penting Mengungkap Pejabat Serakah

Minggu, 09 Maret 2025 | 20:58

CMNP Minta Pengadilan Sita Jaminan Harta Hary Tanoe

Selasa, 04 Maret 2025 | 03:55

Usia Pensiun TNI Bakal Diperpanjang, Ketum PEPABRI: Kalau 58 Tahun Kan Masih Lucu-Lucunya

Senin, 10 Maret 2025 | 19:58

UPDATE

CASN jadi Korban Ketidakpastian Menteri PANRB

Kamis, 13 Maret 2025 | 09:33

Sore Ini Prabowo Gelar Diskusi Panel Bareng Pimpinan Perguruan Tinggi

Kamis, 13 Maret 2025 | 09:28

Pasar Masih Tegang, Yen dan Euro Tertekan oleh Dolar AS

Kamis, 13 Maret 2025 | 09:21

Hendrik PH, Teman Seangkatan Teddy Masih Berpangkat Kapten

Kamis, 13 Maret 2025 | 09:14

Emas Spot Berkilau di Tengah Ketidakpastian Tarif

Kamis, 13 Maret 2025 | 09:07

Kegiatan di Vihara Kencana Langgar SKB Dua Menteri dan Perda Tibum

Kamis, 13 Maret 2025 | 08:56

Bamus Betawi dan Bamus Suku Betawi Sama-sama Terima Hibah Rp8 Miliar

Kamis, 13 Maret 2025 | 08:28

Febri Diansyah Harus Jaga Etika saat Bela Hasto

Kamis, 13 Maret 2025 | 08:10

Kapolri Mutasi 1.255 Pati-Pamen, 10 Polwan Jabat Kapolres

Kamis, 13 Maret 2025 | 07:59

10 Kapolda Diganti, Siapa Saja?

Kamis, 13 Maret 2025 | 07:47

Selengkapnya