Berita

Politik

Freeport, Tak Perlu Negosiasi Dan Divestasi

SENIN, 09 OKTOBER 2017 | 20:07 WIB | OLEH: EDY MULYADI

GADUH pemberitaan soal divestasi PT Freeport Indonesia (FI) publik jadi bingung. Para menteri yang merasa terkait dengan perkara ini punya pendapat beda-beda. Tapi intinya, semua merasa menjadi pahlawan karena berhasil 'memaksa' Freeport untuk mau mendivestasi sahamnya hingga 51 persen.

Di tengah euforia sukses memaksa Freeport mendivestasi 51 persen sahamnya tiba-tiba surat bos Freeport McMoran Inc, Richard Adkerson beredar ke publik. Isinya, Freeport menolak mekanisme divestasi yang ditawarkan oleh pemerintah. Nah, lho…

Untuk merayu agar Freeport tidak ngambek, Menkeu Sri Mulyani Indrawati (SMI) buru-buru berencana menerbitkan aturan yang meringankan pajak petambang asal Amerika itu. Jika dalam skema Kontrak Karya Freeport kena pajak penghasilan badan (PPh) 35 persen, dalam beleid yang rencananya berbentuk Peraturan Pemerintah, pajak itu diturunkan menjadi 25 persen.
 

 
Apa yang dilakukan Sri jelas bertabrakan dengan konstitusi, khususnya pasal 23 A. Pasal tersebut berbunyi "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang". Maksudnya, pajak bukan ditentukan dengan PP atau aturan lain yang secara hierarki di bawah UU. Keringanan perpajakan bagi Freeport juga melanggar UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Tapi begitulah Sri, kalau untuk menyenangkan asing, seolah apa saja bisa dilakukan, termasuk melanggar konsititusi dan UU. Bukan main!

Semangat Sri memberi keringanan pajak bagi perusahaan asing juga berbanding terbalik dengan sikapnya terhadap rakyat. Kepada rakyatnya sendiri, dia dikenal sangat galak dalam memalak pajak. Di kepalanya hanya ada pikiran-pikiran apa saja dan apa lagi yang bisa dihisap dari rakyat. Kalau saja dia mau bersikap, setidaknya sama galaknya terhadap Freeport sebagaimana kepada rakyatnya sendiri, mungkin ceritanya bakal lain lagi.

Perusahaan asal Amerika ini diketahui banyak melanggar aturan. Mulai dari soal kerusakan lingkungan, menyogok pejabat pemerintah, tidak melaksanakan kesepakatan membuat smelter hingga membuat urusan divestasi saham jadi ribet dan berbelit-belit.

Ngemplang pajak Rp 6 triliun
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pekan silam mengumumkan temuan potensi kerugian negara dari Freeport mencapai Rp 6 triliun. Pemerintah melalui PP 45/2003 yang telah diubah dalam PP 9/2012 telah menetapkan besaran tarif iuran tetap dan royalti tambahan. Namun berdasarkan ikhtisar hasil pemeriksaan (IHSP) semester I-2017, disimpulkan Freeport masih menggunakan tarif yang tercantum dalam KK yang lebih rendah dan tidak disesuaikan dengan tarif baru. Akibatnya, potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) periode 2009-2015 yang hilang sebesar USD 445,96 juta. Dengan kurs Rp 13.400 per USD maka nilainya setara Rp 5,97 triliun.

Pada periode 2013-2015, PT FI membebankan komponen yang tidak tepat sebagai biaya concentrate handling. Akibatnya, penerimaan royalti pemerintah berkurang USD 181.450 atau setara Rp 2,43 miliar. Jika ditotal kerugian negara mencapai Rp 5,99 triliun.

Menurut BPK, juga terjadi hilangnya potensi peningkatan pendapatan negara melalui dividen Freeport. Pemerintah juga kehilangan kesempatan berperan dalam pengambilan keputusan strategis manajemen PTFI. Ini terjadi karena sampai 2015 kepemilikan Pemerintah Indonesia atas saham PTFI belum optimal. Proses divestasi saham berlarut-larut.

Dari sisi lingkungan, pengelolaan limbah tailing Freeport melabrak peraturan lingkungan yang berlaku. Pembuangan limbahnya telah mencapai laut dan berdampak terjadinya perubahan ekosistem, menimbulkan kerusakan dan kerugian lingkungan.

Dengan begitu banyak pelanggaran yang dilakukan Freeport, semestinya Pemerintah bisa bertindak tegas. Surat Adkerson jelas sebuah arogansi perusahaan asing yang telah mengeruk kekayaan alam Indonesia selama berpuluh tahun. Pelanggaran atas UU 4/2009, khususnya soal pembangunan smelter, juga menunjukkan Freeport mengabaikan hukum dan perundangan yang berlaku di sini. Jadi, sangat mengherankan bila sikap Pemerintah, khususnya Sri begitu lunak. Soal surat tadi, misalnya, sampai kini tidak terdengar bagaimana seharusnya dia bersikap. Normalnya, sebagai pemerintah negara yang berdaulat, pejabat publik kita harus marah dan menjatuhkan sanksi tegas. Bukan malah merayu-rayu dengan memberi keringanan pajak!

Menteri antek Freeport?
Kembali ke soal divestasi yang dibuat ribet dan berlarut-larut, sebetulnya ada solusi murah dan mudah. Ekonom senior Rizal Ramli menyarankan pemerintah tidak perlu melakukan apapun alias cukup diam saja. Ya, pemerintah tidak perlu berunding soal berapa persen saham yang harus didivestasi dan bagaimana mekanismenya, melalui pasar modal atau cara lain? Juga tidak perlu repot menghitung berapa nilai/harga sahamnya, bagaimana dasar penghitungannya, kalau harga pasar, bagaimana menghitungnya, sampai 2001 atau 2041 siapa yang harus membayar (pemerintah pusat, pemda, BUMN, swasta, atau yang lainnya), dari mana uangnya, dan lainnya, dan seterusnya.

"Berdasarkan KK kedua 1996, Freeport harus sudah selesai melakukan divestasi 51 persen saham. Tapi hingga kini belum juga dilakukan. Sekarang semua tergantung pemerintah. Saran saya jika, Freeport masih ngeyel terus, tidak perlu melakukan divestasi dan negosiasi. Tunggu saja sampai kontrak karyanya habis. Setelah KK-nya habis maka sepenuhnya Tambang Grasberg akan menjadi milik pemerintah," ujarnya.

Rizal Ramli benar. Pasal 169b UU Minerba menyebutkan, semua rezim KK harus diubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). KK Freeport akan habis pada 2021. Sesuai UU Minerba, ia baru bisa mengajukan perpanjangan 2019. Artinya, andai Freeport mau memperpanjang kontrak, hal itu baru bisa diajukan dua tahun atau pada 2019 sebelum kontrak habis. Jadi, tidak perlu ribet dan ribut dari sekarang.

Di sisi lain, upaya berganti menjadi IUPK yang semula berbentuk KK harus setelah berakhir pada 2021. Ini diterapkan untuk mematuhi amanat UU Minerba 4/2009 yang tidak lagi memperbolehkan konsesi tambang diatur dalam bentuk KK, tapi harus dengan IUPK. Apa arti dari semua pasal dan ketentuan tersebut? Ya seperti Rizal Ramli katakan tadi. Pemerintah tidak perlu melakukan apapun. Tidak perlu bernegosiasi soal divestasi dan urusan tetek-bengek lainnya. Cukup diam saja sambil menunggu masa kontak berakhir. Setelah itu, dengan sendirinya tambang di Grasberg akan berpindah tangan menjadi milik pemerintah. Gitu aja kok repot!

Makanya sangat mengherankan untuk urusan sesederhana ini, kok di tangan para menteri neolib menjadi amat rumit. Pemerintah Indonesia menjadi sangat repot memenuhi kehendak Freeport. Bukan itu saja, Sri yang seharusnya paling bertanggung jawab dalam hal penerimaan pajak yang terus melorot, malah sibuk membuat beleid yang memberi keringanan pajak buat Freeport.

Padahal, sebagai seorang menteri dia sudah melafalkan sumpah saat diangkat. Bunyi sumpah itu antara lain:
Saya bersumpah, bahwa saya, untuk diangkat pada jabatan ini, langsung atau tidak langsung, dengan nama atau dalih apa pun, tiada memberikan atau menjanjikan, atau pun akan memberikan sesuatu kepada siapapun juga.
Saya bersumpah, bahwa saya, setia kepada UUD Negara Republik Indonesia 1945 dan akan memelihara segala undang-undang dan peraturan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia.

Dengan serenceng fakta tersebut, masuk akal kalau Rizal Ramli curiga adanya menteri-menteri yang menjadi antek Freeport di balik divestasi saham. Menurunkan pajak dan bernafsu melanjutkan negosiasi  yang bisa merugikan Indonesia adalah indikasi kuat ke arah itu. [***]  

(Penulis adalah Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies)

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya