KISRUH garam di negeri ini sekali
lagi menunjukkan potret betapa buruknya para pejabat publik mengelola
negara. Di mata rakyat awam, perkara garam sama sekali tidak masuk akal.
Bagaimana mungkin negara dengan garis pantai kedua terpanjang dunia
setelah Kanada, bisa kekurangan garam?
Asal tahu saja, Indonesia
punya garis pantai 54.716 km. Panjang garis pantai Indonesia bahkan
mengalahkan Rusia (37.653 km), Greenland (44.087 km), Australia (25.760
km), dan Amerika (19.924 km).
Dalam sejarah Indonesia merdeka
yang menjelang 72 tahun, baru kali ini kita mengalami kelangkaan garam.
Kalau pun bisa didapatkan, harganya meroket secara tidak wajar. Akibat
langkanya pasokan, harga garam naik dua kali bahkan lima kali lipat
daripada harga normal.
Kondisi ini jadi keluhan para bupati dan
wali kota di sela Rakornas Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID).
Bayangkan, kalau bupati dan walikota saja mengeluh, bagaimana halnya
dengan rakyat, seperti para ibu rumah tangga atau pedagang kecil?
“Setelah
Lebaran, harga garam terus naik. Saya biasa beli yang isi 10 bungkus
Rp35.000, naik jadi Rp60.000. Terus naik lagi Rp85.000. Sekarang hampir
Rp100.000, tapi barangnya enggak ada,†kata mak Emong (63), pemilik
rumah makan Sunda di kawasan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang, Banten,
seperti dikutip satu media online. Perempuan renta ini sudah puluhan
tahun berdagang kuliner khas Sunda.
Cuma dalih, bukan solusi
Para
menteri ekonomi boleh saja berdalih kelangkaan garam karena produksi
terjun bebas. Faktor utamanya adalah curah hujan yang kelewat tinggi.
Total kebutuhan garam untuk konsumsi dan industri mencapai 3,4 juta
ton/tahun. Sementara produksi dalam negeri baru mencapai 1,8 juta ton.
Sepertinya
dalih para menteri ekonomi tadi masuk akal. Tapi, dalih saja sama
sekali tidak cukup. Rakyat butuh solusi tepat dan cepat. Jangan biarkan
rakyat berjibaku sendiri untutk keluar dari terjangan berbagai
persoalan. Ada negara yang bertugas melindungi rakyat. Ada pejabat dan
aparat yang seharusnya bekerja ekstra keras dan cerdas untuk rakyatnya.
Lagi
pula, bukankah panjangnya curah hujan bukan baru kali ini terjadi.
Bertahun-tahun silam, Indonesia juga pernah beberapa kali mengalami
curah hujan tinggi dan panjang. Tapi, ya itu tadi, baru kali ini dalam
sejarah 72 tahun Indonesia merdeka kita mengalami kelangkaan dan
mahalnya garam.
Kartel imporSejatinya, persoalan
garam adalah persoalan yang sama atas sejumlah komoditas pangan kita.
Bukan rahasia lagi, bahwa kebutuhan pangan kita banyak mengandalkan
impor. Gula, kedelai, daging, bawang putih dan bawang merah, bahkan
beras banyak diimpor. Alasannya, produksi lokal tidak mencukupi
kebutuhan nasional.
Pada titik inilah, tangan-tangan jahat
bermain. Lewat mekanisme impor kiat busuk ditempuh untuk menangguk laba
supergede dengan merugikan negara dan rakyat. Ada kongkalikong antara
pengusaha dan penguasa. Pesekongkolan jahat itu bermula dari sistem
kuota impor yang dipelihara selama belasan bahkan puluhan tahun.
Sistem
kuota ini pula yang melahirkan para importir yang melakukan praktik
kartel. Lewat kartel mereka meraup untung triliunan rupiah dari satu
saja jenis komoditi pangan. Padahal, kelompok yang sama juga bermain di
banyak komoditas pangan lain. Dengan demikian, laba dari perilaku culas
yang mengalir ke pundi-pundi mereka mencapai belasan bahkan puluhan
triliun rupiah.
Bersumber keuntungan superbesar itulah mereka
menyogok para pejabat agar bisa terus melanggengkan polah bisnis
busuknya. Publik sering menggelari mereka sebagai Tujuh Samurai. Namun
ekonom senior Rizal Ramli menyebutnya sebagai Tujuh Begal.
Ketika
menjadi Menko Maritim dan Sumber Daya (Agustus 2015-Juli 2016), Rizal
Ramli pernah berang ihwal impor pangan. Khusus soal garam, dia sempat
menggelar Rapat Koordinasi (Rakor) lintas kementerian yang juga dihadiri
sejumlah pelaku usaha. Dari Rakor yang digelar September 2015 silam
itu, lahirlah kebijakan penting; di antaranya mengganti sistem kuota
impor dengan sistem tarif.
Beberapa poin penting dari Rakor
tersebut, antara lain pengenaan tarif impor garam sekitar
Rp150-Rp200/kg. Penerimaan dari impor garam ini digunakan untuk
melindungi dan memberdayakan petani garam. Mereka akan dibina untuk
meningkatkan kuantitas dan kualitas garam yang dihasilkan.
Rakor
yang dihadiri pejabat Kepolisian, Ditjen Bea dan Cukai, serta Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga sepakat memberi shock therapy
kepada importir nakal. Mereka dikenai tuntutan pidana penyelewengan
impor garam. Biar kapok dan jadi pelajaran pelaku lainnya.
Keputusan
penting lainnya, menndorong tumbuhnya tujuh produsen garam baru,
meningkatkan pengawasan kran impor garam dari India, China, dan Thailand
oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, serta pembentukan tim
monitoring yang memantau perkembangan kebutuhan garam, indikasi
penyelewengan. Tim juga berwenang menentukan harga garamn yang wajar.
Tanpa
harus menunggu lama, di lapangan hasil rakor mulai menunjukkan tajinya.
Pasar garam yang sempat bergejolak langsung senyap. Masalah
terselesaikan.
Sayangnya, RR, begitu dia biasa disapa, terpental
dari kabinet pada reshuffle jilid dua. Akibatnya, kelanjutan berbagai
kebijakan tersebut menjadi tidak jelas. Ujung-ujungnya, kita rasakan
hari-hari ini. Garam mahal. Garam langka. Rakyat dan industri menjerit.
Solusi tepat dan cepatBerangkat
dari pengalaman tersebut, sebetulnya tidak terlalu sulit mengurus
negeri ini. Kuncinya adalah, cari pejabat yang mampu mengenali masalah
serta mencari solusi yang tepat dan cepat. Setelah itu, dia punya
leadership yang kuat untuk mengawal sekaligus memastikan kebijakan yang
diambil bisa di-delivery.
Satu hal yang paling penting dan mutlak
dimiliki pejabat publik, harus bersih dan berintegritas tinggi. Hanya
orang-orang yang seperti ini yang bisa disebut sudah selesai dengan
dirinya sendiri. Dia tidak memiliki kepentingan dari tiap keibjakan yang
dibuat. Di kepala dan hatinya hanya ada tekad berbuat semaksimal
mungkin untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
Oya, satu
lagi, orang ini juga harus berani. Sebab, banyak orang pintar, bersih,
dan berintegritas tinggi tapi tidak punya keberanian. Orang seperti ini
hanya bisa bersih untuk dirinya sendiri. Jangankan untuk membersihkan
Indonesia, untuk sekadar membersihkan lingkungan kerjanya saja dia tidak
berani.
Jadi, soal garam tak cukup hanya membuat geram. Harus
ada orang yang mampu memberi solusi cepat dan tepat. Pertanyaannya,
masih adakah sosok seperti ini di negeri tercinta? Bagusnya, kita pernah
punya orang seperti ini, lho…
[***]Penulis adalah Direktur program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)