Berita

Dahlan Iskan

Upaya Mencari Pemimpin Mampu Di Era Demokrasi

KAMIS, 04 MEI 2017 | 16:46 WIB | OLEH: DAHLAN ISKAN

DIA tampak sering gelisah. Terutama di dua tahun terakhir masa kepresidenannya. Jenderal TNI Prof. Dr. Susilo Bambang Yudhoyono berpikir dan terus berpikir. Terutama mengenai masa depan Indonesia. Lebih khusus lagi mengenai nasib kesinambungan kepemimpinan nasional.

Dalam bahasa blak-blakan saya: siapa presiden setelah dia? Mampukah si pengganti melanjutkan capaian kemajuan yang dia peroleh selama dua periode kepresidenannya? Bisakah sistem demokrasi saat ini menghasilkan pemimpin yang menjamin kemajuan negara? Dan seterusnya.

Di alam demokrasi seperti ini siapa yang lebih disukai akan lebih memungkinkan dipilih daipada siapa yang lebih mampu. Ini karena suara seorang penjambret bus kota sama nilainya dengan suara seorang profesor atau doktor.


Kegelisahan SBY itu, menurut pengamatan saya dilatarbelakangi beberapa hal. Mungkin pengamatan saya ini tidak tepat. Jawaban yang paling tepat tentu akan datang dari SBY sendiri. Misalnya, bila suatu saat nanti Presiden SBY menulis memoar dan jangan lupa mengupas soal ini. Namun karena saat itu saya termasuk salah satu menteri kabinetnya yang di pos yang secara ekonomi cukup penting, rasanya pengamatan saya ini tidak akan terlalu meleset.

Pertama, SBY tampak gelisah karena sampai saat itu belum muncul nama calon penggantinya yang lebih mampu dari dia. Bahkan setara pun tidak.

Di antara nama yang beredar luas di masyarakat saat itu barulah sebatas orang yang memenuhi kreteria disukai. Dia populer. Dan memang orangnya sederhana. Tetapi saat itu dia belum memiliki track record yang hebat. Terutama untuk satu beban tugas berat secara nasional.

Kedua, Presiden SBY merasa selama kepemimpinannya Indonesia mengalami kemajuan yang sangat besar. Dalam kurun yang panjang. Selama dua periode kepemimpinannya. Terutama di bidang ekonomi, stabilitas dan kesejahteraan. Di zamannyalah Indonesia berhasil masuk kelompok negara G-20. Besaran ekonomi Indonesia masuk 16 besar dunia. Pendapatan perkapitanya mencapai 4.500 dolar. Dan seterusnya.

Tentu masih banyak alasan lainnya. Kalau mau, saya bisa membuat daftar sampai 10 alasan. Tapi dua itulah yang saya catat yang paling utama.

Kegelisahan mengenai siapa yang bakal meneruskannya itu, didasari pada logika berpikir SBY yang kuat. Presiden SBY sering mengemukakan logika begini: "dalam sistem demokrasi seperti ini, orang yang mampu belum tentu terpilih dan orang yang terpilih belum tentu mampu."

Kalau sampai itu yang terjadi maka negara yang jadi korban. Demokrasi sebagai alat memajukan negara hanya berhenti sampai di alat. Tapi SBY sangat komit pada demokrasi. Meskipun ada logika "yang mampu belum tentu terpilih dan yang terpilih belum tentu mampu" namun demokrasi tidak boleh dibunuh. Sebaliknya harus juga diupayakan jangan sampai muncul ketidakpercayaan pada demokrasi akibat "yang mampu tidak terpilih, yang terpilih tidak mampu".

Masih ada waktu, waktu itu. Presiden SBY terus mengamati perkembangan di masyarakat dengan harap-harap cemas. Akankah akhirnya akan muncul bakal calon yang dinilai mampu dan punya kans untuk terpilih?

Diikutinya situasi politik dari waktu ke waktu. Ternyata belum juga muncul nama yang memasuki kreteria "mampu dan bisa terpilih". Yang beredar saat itu masih terus saja "populer tapi belum tentu mampu".

Kalau sampai Indonesia jatuh ke tangan "populer tapi belum tentu mampu" Presiden SBY seperti harus ikut bertanggungjawab. Terutama kalau kelak, setelah dia lengser, Indonesia mengalami kemunduran. Bisa ada penilaian bahwa dia kurang negarawan.  Tidak berpikir strategis untuk masa depan bangsanya.

Dari pikiran merasa ikut bertanggungjawab itulah rupanya muncul idenya yang brilian: mencari orang yang mampu biarpun orang itu belum populer. Dasar berpikirnya: untuk bisa populer masih bisa dibuat. Tapi untuk bisa “mampu” tidak bisa mendadak mampu. Sebagian besar orang memang akan bisa mampu. Tapi proses untuk menjadi mampu itu ada yang cepat ada pula yang lambat. Negara sedapat mungkin tidak menjadi taruhan tempat meningkatkan kemampuan seseorang.

SBY termasuk yang berpendapat harus ada mekanisme tertentu untuk membuat orang yang mampu menjadi populer. Dan akhirnya bisa terpilih. Banyak orang mampu sengaja tidak ingin populer. Menjadi populer punya resikonya sendiri: bisa menjadi sasaran angin topan. [***]

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

Ini Susunan Lengkap Direksi dan Komisaris bank bjb

Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12

Pidato Prabowo buat Roy Suryo: Jangan Lihat ke Belakang

Senin, 08 Desember 2025 | 12:15

UPDATE

BNN-BNPP Awasi Ketat Jalur Tikus Narkoba di Perbatasan

Jumat, 19 Desember 2025 | 00:09

Perkuat Keharmonisan di Jakarta Lewat Pesona Bhinneka Tunggal Ika

Jumat, 19 Desember 2025 | 00:01

Ahmad Doli Kurnia Ditunjuk Jadi Plt Ketua Golkar Sumut

Kamis, 18 Desember 2025 | 23:47

Ibas: Anak Muda Jangan Gengsi Jadi Petani

Kamis, 18 Desember 2025 | 23:26

Apel Besar Nelayan Cetak Rekor MURI

Kamis, 18 Desember 2025 | 23:19

KPK Akui OTT di Kalsel, Enam Orang Dicokok

Kamis, 18 Desember 2025 | 23:12

Pemerintah Didorong Akhiri Politik Upah Murah

Kamis, 18 Desember 2025 | 23:00

OTT Jaksa oleh KPK, Kejagung: Masih Koordinasi

Kamis, 18 Desember 2025 | 22:53

Tak Puas Gelar Perkara Khusus, Polisi Tantang Roy Suryo Cs Tempuh Praperadilan

Kamis, 18 Desember 2025 | 22:24

Menkeu Purbaya Bantah Bantuan Bencana Luar Negeri Dikenakan Pajak

Kamis, 18 Desember 2025 | 22:24

Selengkapnya