PADA halaman ke-24 majalah The Economist edisi 25 Maret 2017, secara kebetulan saya dibingungkan oleh sebuah foto dengan teks “Three people and a boat†( Tiga manusia dan sebuah perahu). Yang membuat saya bingung adalah pada foto “tiga manusia dan sebuah perahu“ tersebut hanya tampak dua manusia sedang mengayuh sebuah perahu menelusuri sebuah sungai.
Kebingungan saya lenyap setelah saya membaca isi artikel yang didampingi foto tersebut dengan judul pengantar “Hydrological jurisprudence“ (Jurisprudensi Hidrologikal) dengan sub judul “A watercourse in New Zealand becomes a person“ (Sebuah sungai di Selandia Baru menjadi seorang manusiaâ€).
Di dalam artikel Jurisprudensi hidrologikal tersebut terberitakan bahwa parlemen Selandia Baru memaklumatkan sebuah UU baru yang menyatakan bahwa sungai ke tiga terpanjang di Selandia Baru yang bernama Whanganui secara konstitusional dinyatakan sebagai “a legal person“ yang lebih baik tidak saya alih-bahasakan demi mencegah saya yang awam hukum ini melakukan kekeliruan konyol.
Meresmikan alam sebagai
“a legal person†sudah pernah dilakukan di Selandia Baru terhadap kawasan national-park Te Urewera pada tahun 2014. Tujuan utama status
“a legal person“ pada hakikatnya adalah demi mencegah perusakan yang dilakukan manusia terhadap alam.
Setelah Sungai Whanganui disahkan sebagai
“a legal person“ maka Sungai Whanganui memiliki hak asasi yang tidak bisa begitu saja dilanggar oleh siapapun termasuk manusia yang secara politis dan ekonomis memiliki kekuasaan serta memiliki kepentingan untuk merusak alam.
Penstatusan Whanganui menjadi
“a legal person“ merupakan lanjutan kesepakatan Treaty of Waitangi antara penduduk pribumi Maori dengan pemerintah kolonial Inggris pada tahun 1840 dengan tujuan melindungi hak asasi masyarakat Maori dari angkara murka penjajahan Inggris.
Meyakini sungai sebagai sesama mahluk hidup sebenarnya bukan hal baru bagi masyarakat Iwi sebagai penduduk pribumi yang menghuni bantaran Sungai Whanganui. Kaum Iwi memiliki keterikatan spiritual sangat mendasar dengan Sungai Whanganui sesuai peribahasa mereka “aku adalah sungai, sungai adalah aku“. Akhirnya setelah pertarungan konstitusional selama lebih dari seabad, pemerintah Selandia Baru secara konstitusional mengakui Sungai Whananui sebagai
“a legal person“ yang memiliki hak-hak konstitusional setara dengan seluruh warga negara Selandia Baru lainnya.
Dua petugas resmi ditunjuk untuk mengawal Kesepakatan Whanganui. Seorang pengawal ditunjuk oleh pemerintah dan yang seorang lagi ditunjuk oleh masyarakat Iwi. Kesepakatan Whanganui akan menghukum mereka yang melakukan perusakan terhadap sungai Whananui beserta lingkungannya.
Bahkan akibat berlakunya Kesepakatan Whanganui, terpaksa pemerintah Selandia Baru membayar ganti rugi 80 juta dolar NZ (sekitar 56 juta dolar AS) kepada masyarakat Iwi atas kerusakan yang sudah terlanjur terjadi terhadap Sungai Whanganui di samping menganggarkan 30 juta dolar NZ untuk memulihkan “kesehatan dan kebugaran†Sungai Whanganui.
Alangkah indahnya, apabila setelah pemerintah Selandia Baru dan masyarakat Iwi menghadirkan kurisprudensi hidrologikal Kesepakatan Whanganui, Insya Allah pada suatu hari pemerintah Indonesia berkenan duduk bersama demi bermusyawarah mufakat dengan rakyat bantaran kali Ciliwung mendeklarasikan Kesepakatan Ciliwung. [***]
Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan