Berita

Nasaruddin Umar/Net

Merawat Toleransi (34)

Menghindari Religious-Hate Speech

JUMAT, 30 DESEMBER 2016 | 09:28 WIB | OLEH: NASARUDDIN UMAR

ANCAMAN strategis bagi sebuah bangsa majemuk seperti Indonesia ialah Re­ligiuos-Hate Speech (RHS). RHS ungkapan kebencian berlatar belakang agama, kepercayaan, aliran, mazhab, sekte, dan atribut kea­gamaan lainnya, dapat dilakukan oleh siapapun dan kepada siapapun. Ketentuan yang bisa diguna­kan ukuran untuk menyebut sebuah perbuatan RHS sebetulnya belum diatur secara khusus dan lebih rinci. Selama ini aparat hukum kita hanya berpegang kepada sejumlah peraturan perundang-undangan yang sesungguhnya te­manya berbeda, meskipun bisa "diperpanjang" untuk menjerat kasus RHS.

Di antara UU itu ialah UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, khususnya pasal 28 jo. Pasal 45 ayat (2); UU. No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, khususnya pasal 16; UU No. 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial; dan yang terakhir agak kontroversi ialah Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.

Surat Edaran Kapolri adalah referensi pal­ing jelas dan terukur tentang bentuk dan kriteria HS. Pada nomor (2) huruf (f) Surat Edaran itu disebutkan: "Ujaran kebencian dapat berupa tin­dak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Un­dang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pi­dana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain:1) Penghinaan. 2)Pencemaran nama baik. 3) Penistaan. 4)Perbuatan tidak menyenangkan. 5) Memprovokasi. 6) Menghasut. 7) Menyebarkan berita bohong, dan semua tindakan di atas memi­liki tujuan atau bisa berdampak pada tindak dis­kriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial."


Ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas, bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibe­dakan dari aspek: 1) Suku. 2) Agama. 3) Aliran Keagamaan. 4) Keyakinan atau kepercayaan. 5) Ras. 6) Antargolongan. 7) Warna kulit. 8) Etnis. 9) Gender. 10) Kaum difabel. 11) Orientasi sek­sual. Bahkan Surat Edaran ini lebih terinci sampai kepada media pengungkapan HS, sebagaimana bisa dilihat pada huruf (h), yaitu: 1) Dalam orasi kegiatan kampanye. 2) Spanduk atau banner. 3) Jejaring media social. 4) Penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi). 5) Ceramah kea­gamaan. 6) Media massa cetak atau elektronik. 7) Pamflet.

Dari pengertian operasional dan bahasa teknis dalam Surat Edaran Kapolri tersebut di atas bisa menjelaskan banyak hal yang selama ini masih abal-abal. Aparat hukum, khususnya aparat ke­polisian bisa bekerja dengan tegas dengan dike­luarkannya Surat Edaran ini. Aparat kepolisian selama ini terjadang lebih banyak menjadi penon­ton di dalam menyaksikan sebuah orasi yang se­sungguhnya sangat berpotensi menyulut emosi massa. Namun pihak Kepolisian juga akan ber­hadapan ancaman yang tidak ringan manakala salah tangkap. Dalam praperadilan anggota polisi sering kali dikalahkan.

Surat Edaran Kaporli ini pada mulanya menuai kontroversi, terutama muncul dari kalangan aktifis LSM, praktisi Media, dan tentu saja dari para poli­tisi, karena mereka khawatir kebebasannya bisa tereduksi atau bisa diancam dengan sanksi hokum tertentu. Namun sosialisasi dan penjelasan Kapolri yang sepertinya tidak mengenal lelah menjelaskan tujuan Surat Edaran itu, akhirnya para pihak ber­sikap diam dan sebagian ilmuan dan praktisi hukum menilai positif, karena bisa memberikan kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang abal-abal di dalam masyarakat selama ini. Bentuk-ben­tuk RHS di atas jika diukur dengan ukuran agama maka jelas tidak sejalan dengan visi dan misi aja­ran agama, khususnya dalam Islam. Untuk tujuan apapun Religious Hate Speech tidak pernah ditoler­ir. Bahkan Al-Qur'an dengan tegas menyatakan: "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan bijaksana dan nasehat yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik" (Q.S. al- Nahl/16:125). ***

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Ini Susunan Lengkap Direksi dan Komisaris bank bjb

Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12

UPDATE

Rumah Dinas Kajari Bekasi Disegel KPK, Dijaga Petugas

Jumat, 19 Desember 2025 | 20:12

Purbaya Dipanggil Prabowo ke Istana, Bahas Apa?

Jumat, 19 Desember 2025 | 20:10

Dualisme, PB IKA PMII Pimpinan Slamet Ariyadi Banding ke PTTUN

Jumat, 19 Desember 2025 | 19:48

GREAT Institute: Perluasan Indeks Alfa Harus Jamin UMP 2026 Naik

Jumat, 19 Desember 2025 | 19:29

Megawati Pastikan Dapur Baguna PDIP Bukan Alat Kampanye Politik

Jumat, 19 Desember 2025 | 19:24

Relawan BNI Ikut Aksi BUMN Peduli Pulihkan Korban Terdampak Bencana Aceh

Jumat, 19 Desember 2025 | 19:15

Kontroversi Bantuan Luar Negeri untuk Bencana Banjir Sumatera

Jumat, 19 Desember 2025 | 18:58

Uang Ratusan Juta Disita KPK saat OTT Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 18:52

Jarnas Prabowo-Gibran Dorong Gerakan Umat Bantu Korban Banjir Sumatera

Jumat, 19 Desember 2025 | 18:34

Gelora Siap Cetak Pengusaha Baru

Jumat, 19 Desember 2025 | 18:33

Selengkapnya