Nasaruddin Umar/Net
Nasaruddin Umar/Net
AKHIRNYA selalu kita kagum terhadap Nabi. Tidak ada yang meragukan bahÂwa masyarakat yang dihÂadapi Nabi, baik di Mekah terutama di Yatsrib, kemuÂdian Nabi mengubahnya menjadi Madinah, adalah masyarakat yang sangat plural. Di Madina ada kelÂompok berdasarkan agama dan kepercayaan seperti komunitas agama Kristen Monofisit, Kristen Nestorian, Kristen Othodox, Yahudi, ZoÂroaster, Majusi, dan aliran-aliran kepercayaan lainnya. Dari segi etnik di sana ada suku KhazÂraj dan suku ‘Auz, serta kelompok pendatang lainnya, karena kota Madinah, banyak sekali pendatang dari luar seperti Persia dan Afrika. Di tambah lagi dengan adanya kelompok berÂdasarkan politik, yakni kelompok yang menghÂendaki kehadiran Nabi Muhammad di Madinah, seperti dua etnik disebutkan di atas yang telah menjalin perjanjian damai dengan Nabi yang dikenal dengan Bai'ah 'Aqabah pertama dan kedua, dan kelompok lainnya menolak kehadÂiran Nabi seperti minoritas Yahudi dan sekutuÂnya dari kelompok minoritas Kristen saat itu.
Ketika Nabi masuk di perbatasan Madinah unÂtuk memenuhi undangan mereka, sudah mulai muncul masalah, karena kedua sponsornya yaitu suku Khazraj dan suku 'Auz sama-sama meminta Nabi untuk menetap di tengah suku mereka. Nabi dengan cerdasnya menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan, kita nanti melihat unta saya di mana ia akan berlutut menurunkan saya. Unta Nabi memutari kota Madina yang waktu itu relatif masih belum terlalu luas seperti sekarang. LuÂasnya kurang lebih sama dengan lingkaran parit (khandaq) yang pernah digali Nabi sebagai benÂteng. Unta Nabi berhenti di suatu tempat dan keÂbetulan di tempat pemberhentian unta itu di perÂbatasan kedua suku besar tadi. Akhirnya kedua etnik itu menerima keputusan Nabi.
Selanjutnya Nabi membaca kota Madina yang sedemikian kompleks dan menyimpan poÂtensi konflik, terutama yang paling mendesaÂkialah mengalirnya pengungsi umat Islam dari Mekkah dan dari kota-kota lain mengikuti Nabi. Masyarakat sudah mulai terpola menjadi dua, yaitu kelompok pendatang (Muhajirin) dan kelÂompok pribumi (Anshar). Sebelum terjadi konflik, Nabi segera melakukan program yang disebut gerakan persaudaraan (al-ikha’), yaitu memperÂsaudarakan antara kelompok pribumi dan pendaÂtang dengan cara melakukan kawin mawin antara keduanya. Laki-laki muhajirin diserukan kawin dengan perempuan Anshar, demikian pula sebaÂliknya. Kedua kelompok masyarakat ini akhirnya terjadi pembauran yang ideal.
Populer
Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21
Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58
Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29
Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12
UPDATE
Jumat, 19 Desember 2025 | 20:12
Jumat, 19 Desember 2025 | 20:10
Jumat, 19 Desember 2025 | 19:48
Jumat, 19 Desember 2025 | 19:29
Jumat, 19 Desember 2025 | 19:24
Jumat, 19 Desember 2025 | 19:15
Jumat, 19 Desember 2025 | 18:58
Jumat, 19 Desember 2025 | 18:52
Jumat, 19 Desember 2025 | 18:34
Jumat, 19 Desember 2025 | 18:33